Oleh : Mustaqiem Eska
“Memang anu, kalau sudah anu, kudu dianukan, biar anunya anu” (Mustaqiem Eska)
(pdlFile.com) Untaian kata yang tampak sederhana namun menyimpan kedalaman makna dalam budaya Jawa: “Memang anu kalau sudah anu, kudu dianukan, biar anunya anu.” Ungkapan ini, dengan pengulangan kata “anu” yang begitu dominan, justru menjadi kunci untuk memahami bagaimana bahasa Jawa sering kali menyampaikan maksud secara implisit, mengandalkan konteks dan pemahaman bersama antara penutur dan pendengar.
Secara harfiah, kalimat ini nyaris tanpa arti yang jelas bagi seseorang yang tidak familiar dengan nuansa percakapan dalam bahasa Jawa. Kata “anu” sendiri berfungsi sebagai placeholder, sebuah kata ganti serbaguna yang dapat merujuk pada benda, orang, tempat, keadaan, atau bahkan tindakan yang sedang dibicarakan atau telah dipahami oleh kedua belah pihak. Kekuatan ungkapan ini justru terletak pada kemampuannya untuk menyampaikan maksud tanpa perlu menyebutkannya secara eksplisit.
Dalam konteks sastra, ungkapan “Memang anu kalau sudah anu, kudu dianukan, biar anunya anu” dapat ditafsirkan dalam beberapa lapisan makna:
Pertama, sebagai cerminan budaya komunikasi Jawa yang tidak langsung. Masyarakat Jawa dikenal dengan gaya komunikasi yang halus, penuh sopan santun, dan menghindari konfrontasi langsung. Penggunaan kata “anu” yang berulang kali mencerminkan keengganan untuk menyebutkan sesuatu secara terus terang, mungkin karena dianggap kurang pantas, tabu, atau sekadar karena konteks sudah cukup jelas. Ini adalah bentuk kehati-hatian dalam berbahasa, di mana makna seringkali tersirat dan bergantung pada kepekaan pendengar untuk menangkap maksud yang sebenarnya.
Kedua, sebagai representasi dari kompleksitas dan ketidakpastian hidup. Pengulangan “anu” yang ambigu dapat pula diartikan sebagai metafora untuk berbagai hal yang tidak pasti, sulit didefinisikan, atau terus berubah dalam kehidupan. “Kalau sudah anu” bisa merujuk pada suatu kondisi atau masalah yang muncul, “kudu dianukan” menyiratkan perlunya tindakan atau solusi, dan “biar anunya anu” menunjukkan harapan akan adanya perubahan atau perbaikan setelah tindakan tersebut diambil. Ketidakjelasan “anu” di sini justru memperkuat kesan bahwa hidup penuh dengan hal-hal yang tidak terduga dan memerlukan respons yang adaptif.
Ketiga, sebagai kritik sosial terhadap kepatuhan tanpa pemahaman. Dalam beberapa konteks, ungkapan ini bisa juga mengandung sindiran terhadap kebiasaan mengikuti aturan atau perintah tanpa benar-benar memahami alasannya. “Memang anu kalau sudah anu” bisa menggambarkan situasi di mana sesuatu terjadi begitu saja tanpa banyak penjelasan, “kudu dianukan” menunjukkan keharusan untuk bertindak sesuai dengan norma atau perintah yang ada, dan “biar anunya anu” menyiratkan harapan yang samar-samar akan hasil yang diinginkan. Ketidakjelasan ini bisa menjadi kritik terhadap kepatuhan buta atau kurangnya transparansi dalam suatu sistem.
Keempat, sebagai permainan bahasa yang kreatif dan humoristis. Dari sudut pandang linguistik dan sastra, ungkapan ini menunjukkan kekayaan bahasa Jawa dalam menciptakan makna melalui pengulangan dan ambiguitas. Penggunaan kata “anu” yang berlebihan justru menghasilkan efek komedi dan keakraban. Ini adalah cara untuk menyampaikan sesuatu yang mungkin sensitif atau rumit dengan cara yang lebih ringan dan tidak terlalu serius. Keberhasilan komunikasi di sini sangat bergantung pada pemahaman bersama dan keakraban antara penutur dan pendengar.
Hehehehe, ungkapan “Memang anu kalau sudah anu, kudu dianukan, biar anunya anu” adalah sebuah contoh menarik tentang bagaimana bahasa, khususnya bahasa Jawa, dapat berfungsi lebih dari sekadar alat komunikasi literal. Ia adalah cerminan budaya, pandangan hidup, dan kemampuan untuk menyampaikan makna secara halus dan kontekstual. Dalam esai sastra, ungkapan ini dapat dianalisis sebagai representasi dari ketidakpastian, kompleksitas komunikasi, kritik sosial, atau sekadar sebagai permainan bahasa yang unik dan humoristis. Pemahamannya memerlukan kepekaan terhadap konteks budaya dan kemampuan untuk membaca di antara baris kata.***
Anu – dalam Bahasa Jawa, “Anu” (dibaca : “a-nu”) memeiliki arti yang mirip dengan “iitu”, ahat lebih sering digunakan Ketika penutur ingin menghindari menyebutkan nama sesuatu secara spesifik, atau Ketika ia lupa nama sesuatu, atau Ketika ingin menunjuk sesuatu yang tidak jelas atau masih belum diketahui.