Oleh : Mustaqiem Eska
(GAZA – pdlFile.com) Di atas tanah yang menyimpan jejak penjara terbuka, kini terhampar duka yang mencengkeram. Gaza, sepotong wilayah yang terimpit sejarah dan konflik, kini menjadi panggung bisu bagi tragedi kemanusiaan yang tak terperi. Blokade yang berkepanjangan telah menjelma menjadi tirai besi yang mengungkung jutaan jiwa, merampas hak paling mendasar untuk hidup, untuk makan, untuk sekadar bernapas lega tanpa dihantui bayang-bayang kekurangan.
Lumbung-lumbung kehidupan kian mengering. Bahan makanan, yang seharusnya menjadi penopang eksistensi, berubah menjadi barang langka yang diimpikan dalam sunyi malam. Anak-anak kecil dengan mata sayu, yang seharusnya riang bermain di bawah mentari, kini hanya bisa meratapi perut keroncongan. Anemia, musuh tak kasatmata, menggerogoti kekuatan tubuh mereka yang ringkih. Nutrisi, yang menjadi fondasi pertumbuhan dan kesehatan, hanyalah fatamorgana yang memudar dalam ingatan para ibu yang tak berdaya.
Setiap helaan napas di Gaza adalah perjuangan. Setiap tetes air adalah kemewahan. Setiap butir nasi adalah harapan yang menipis. Dunia menyaksikan, mungkin dengan iba, mungkin dengan acuh tak acuh, namun penderitaan ini terus berlanjut. Sampai kapan jeritan pilu ini harus bergema di antara reruntuhan bangunan dan harapan yang terkubur? Sampai kapan mata dunia tertutup rapat dari luka menganga yang diderita sesama manusia?
Di tengah kegelapan yang mencekam, secercah harapan masih membias dalam doa-doa yang dipanjatkan di keheningan malam. Harapan akan datangnya fajar kedamaian, sebuah era di mana bumi tidak lagi menjadi saksi bisu pertumpahan darah dan kesengsaraan. Sebuah dunia, yang dalam bahasa hati mungkin disebut “arqah” yang lebih damai, di mana keadilan dan kemanusiaan menjadi pijakan bagi setiap langkah.
Namun, harapan tanpa tindakan adalah fatamorgana di padang pasir kehidupan. Perubahan hanya akan terwujud jika nurani dunia tersentuh, jika empati menjelma menjadi aksi nyata. Bebaskan Gaza dari belenggu blokade. Hentikan rantai kekerasan yang hanya menyisakan air mata dan duka.
Sampai kapan? Pertanyaan ini menggantung di udara, menanti jawaban dari hati nurani terdalam manusia berhati. Semoga kelak, sejarah mencatat bahwa di tengah kegelapan, cahaya kemanusiaan mampu menembus, membawa Gaza menuju arqah yang lebih damai, di mana setiap jiwa dihargai dan setiap perut tidak lagi merintih karena lapar.***