Oleh : Mustaqiem Eska
(pdlFile.com) Indera penglihatan, seringkali kita yakini sebagai gerbang utama menuju realitas, nyatanya tak jarang menjadi sumber kekeliruan. Mata, dalam kesederhanaannya, terkadang luput dari detail, atau bahkan dengan mudahnya terperdaya oleh ilusi permukaan. Ironisnya, hati dan pikiran, yang seharusnya menjadi penentu kebenaran, acap kali mengikuti jejak mata tanpa mempertimbangkan tanggung jawab penuhnya. Kita terlalu mudah terbawa oleh pandangan sekilas, tanpa sedikit pun berhitung seberapa valid “kebenaran” yang disuguhkan oleh indera penglihatan itu.
Padahal, jika saja seluruh anggota badan diajak bermusyawarah dalam mencari kebenaran, niscaya mata akan dituntut untuk mengidentifikasi setiap prasangka, menguraikannya hingga menjadi fakta murni, atau justru membuktikan bahwa apa yang terlihat hanyalah fitnah belaka. Orang yang bijak memahami urgensi ini. Mereka tidak akan menelan mentah-mentah apa yang disaksikan mata, melainkan akan melakukan pengujian “seribu kali” untuk mendapatkan jawaban yang akurat, layaknya seorang ilmuwan yang menguji hipotesisnya. Sikap ini berbanding terbalik dengan kecerobohan mulut yang asal bicara tanpa dasar kebenaran yang teruji.
Kisah seorang sufi bernama Ibrahim menjadi ilustrasi nyata betapa berbahayanya prasangka. Saat berjalan di tepi pantai, matanya menangkap siluet seorang lelaki dan perempuan yang tampak asyik berdua menikmati keindahan laut. Seketika, batin Ibrahim menghujat, “Sepasang kekasih ini benar-benar tidak takut dosa, berduaan di pantai asyik masyuk…” Ia membiarkan matanya menjadi hakim tunggal, dan hatinya dengan mudah mengamini tuduhan tanpa bukti.
Namun, takdir punya cara sendiri untuk membuka mata hati. Tiba-tiba, ombak besar menerjang, menyeret lima orang ke pusaran air. Lelaki yang tadinya dihujat oleh Ibrahim, dengan sigap dan lincah, langsung mengejar dan menolong para korban. Empat nyawa berhasil diselamatkan, sementara Ibrahim hanya bisa terpaku, terdiam dalam kekaguman bercampur sesal.
Ketika sang penyelamat mendekati Ibrahim, perkataannya menusuk relung hati sufi itu, seolah mampu membaca pikirannya. “Kamu salah sangka terhadap saya. Perempuan di sebelah saya itu adalah ibu saya. Dan tadi saya sudah selamatkan empat orang. Seharusnya kalau kamu tidak berpikir negatif terlebih dahulu terhadap apa yang kamu lihat, kamu bisa selamatkan yang satunya lagi.”
Kata-kata itu bagai cambuk, menghantam hati Ibrahim. Ia merasa sangat bersalah. Prasangka buruknya bukan hanya menodai pandangan mata, tetapi juga menutup celah kebaikan yang seharusnya bisa ia lakukan. Kisah ini menegaskan firman Allah SWT dalam QS. Al-Hujurat: 12, “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian kebanyakan dari persangkaan karena sesungguhnya sebagian dari persangkaan itu merupakan dosa.”
Kisah Ibrahim adalah pengingat yang kuat: kehati-hatian dalam memandang dan berpikir adalah kunci kebijaksanaan. Jangan biarkan mata menjadi tiran yang mendikte hati dan pikiran. Sebelum melabeli, menghakimi, atau bahkan bertindak, mari luangkan waktu untuk menguji, memverifikasi, dan membuka diri terhadap kemungkinan bahwa apa yang tampak di permukaan mungkin bukanlah keseluruhan cerita. Hanya dengan demikian kita dapat menjaga hati dari dosa prasangka, dan membuka jalan bagi kebaikan yang sejati. ***