Oleh : Mustaqiem Eska
(pdlFile.com) Pernyataan KDM yang menjadikan vasektomi sebagai prasyarat bagi keluarga miskin untuk menerima bansos adalah sebuah ironi yang menganga dalam rancangan kebijakan sosial. Sebuah gagasan yang, alih-alih mencari solusi struktural atas kemiskinan, justru menyasar ranah privat dan keyakinan mendasar tentang rezeki dan keberlangsungan keturunan. Pesan agar keluarga miskin menghentikan kelahiran anak melalui sterilisasi paksa pada suami adalah sebentuk cara berpikir yang terbelah, gagal memahami kompleksitas kemiskinan dan kekayaan makna di baliknya.
Seolah KDM lupa, atau mungkin sengaja mengabaikan, bahwa konsep rezeki dalam ajaran Islam memiliki dimensi spiritual yang jauh melampaui kalkulasi materiil dan jumlah anak. Rezeki, dalam keyakinan ini, adalah karunia Ilahi yang telah dijamin bagi setiap makhluk yang bernyawa, sebagaimana firman Allah dalam Surah Hud ayat 6: “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuz).” Ayat ini menjadi landasan keyakinan mendasar bagi umat Muslim bahwa kelahiran seorang anak membawa serta jaminan rezekinya sendiri. Mengaitkan jumlah anak dengan ketersediaan rezeki adalah sebuah reduksi pemahaman yang dangkal, mengabaikan dimensi transendental dalam kehidupan.
Memang tak dapat dipungkiri, secara statistik dan sosiologis, kerap kali kita jumpai keluarga dengan banyak anak berada dalam kondisi ekonomi yang sulit. Namun, korelasi tidak selalu berarti kausalitas. Kemiskinan adalah masalah struktural yang berakar pada ketidakadilan distribusi sumber daya, kebijakan ekonomi yang kurang berpihak pada rakyat kecil, dan berbagai faktor sistemik lainnya. Menyalahkan jumlah anak dalam keluarga miskin sebagai biang keladinya adalah sebuah simplifikasi yang menyesatkan, mengalihkan tanggung jawab dari akar permasalahan yang sesungguhnya.
Bansos, sebagai instrumen kebijakan publik, seharusnya hadir sebagai wujud tanggung jawab negara dalam menjamin kesejahteraan warganya, tanpa diskriminasi dan tanpa syarat yang merendahkan martabat manusia. Memberikan bantuan kepada mereka yang terpinggirkan adalah amanah konstitusi, sebuah kewajiban moral yang tidak seharusnya dikaitkan dengan pilihan reproduksi individu. Menjadikan vasektomi sebagai syarat penerimaan bansos adalah bentuk intervensi negara yang berlebihan terhadap kedaulatan tubuh dan pilihan pribadi, sebuah pelanggaran terhadap hak asasi manusia untuk menentukan jumlah dan jarak kelahiran anak.
Cara berpikir KDM seolah abai terhadap akar permasalahan kemiskinan. Alih-alih fokus pada pembenahan kebijakan yang tidak merata, evaluasi manfaat pajak bagi kesejahteraan rakyat, dan optimalisasi sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan yang layak, gagasan ini justru menyasar tubuh kaum miskin. Ini adalah sebuah paradoks, di mana upaya untuk mengatasi masalah demografi dan kemiskinan justru dilakukan dengan cara yang merampas hak dan keyakinan kelompok masyarakat yang paling rentan.
Sungguh ironis, ketika retorika “banyak anak banyak rezeki” yang tumbuh subur dalam masyarakat justru dibenturkan dengan kebijakan yang secara implisit menyalahkan kelahiran anak sebagai penyebab kemiskinan. Pemerintah seharusnya lebih arif dalam memahami cakrawala sosial dan keagamaan masyarakatnya. Rezeki bukanlah semata-mata urusan angka dan statistik, melainkan sebuah keyakinan mendalam yang tertanam dalam jiwa setiap individu.
Oleh karena itu, gagasan menjadikan vasektomi sebagai syarat penerima bansos adalah sebuah kekeliruan fundamental. Alih-alih mencari jalan pintas yang kontroversial dan merendahkan, pemerintah seharusnya fokus pada akar masalah kemiskinan: ketidakadilan struktural dan kebijakan yang belum sepenuhnya berpihak pada rakyat. Membenahi cara berpikir dan kebijakan pemerintah, mengevaluasi kembali distribusi kekayaan negara, dan memberdayakan sumber daya manusia secara holistik adalah langkah-langkah yang jauh lebih bijak dan bermartabat. Urusan rezeki adalah urusan Yang Maha Kuasa, dan kedaulatan atas tubuh adalah hak asasi yang tak dapat dirampas oleh kebijakan yang sempit dan tidak berpihak pada kemanusiaan. “Banyak anak banyak rezeki” mungkin bukan dalil ekonomi, namun ia adalah cerminan keyakinan dan harapan yang tak seharusnya dipadamkan oleh kebijakan yang diskriminatif.***