Oleh : Mustaqiem Eska
(pdlFile.com) Napas kehidupan berhembus dalam ritme pencarian, sebuah perjalanan tanpa akhir untuk menyingkap tabir misteri yang bernama “diri.” Pepatah sufi yang sarat makna, “Man arofa nafsahu faqod arofa robbahu” (Barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya), laksana kompas yang menunjuk arah hakiki dari eksistensi. Semakin dalam seseorang menyelami labirin jiwanya, semakin terang pula petunjuk menuju Sang Khalik. Namun, di tengah gemuruh dunia dan bisikan-bisikan ego, manusia kerap kali terperangkap dalam jaring kemelekatan terhadap keinginan-keinginan yang lahir dari benaknya sendiri.
Keinginan, dalam esensinya, adalah bara api yang dapat menghangatkan atau membakar. Ia bisa menjadi pendorong untuk meraih potensi terbaik, namun tak jarang menjelma menjadi rantai yang mengikat kebebasan jiwa. Sumber dari kemelekatan itu seringkali rapuh, layaknya fatamorgana di padang pasir yang menjanjikan kesejukan namun hanya menyuguhkan ilusi. Kekayaan materi, pujian manusia, kekuasaan yang fana—semua ini adalah konstruksi sementara yang kita puja seolah abadi. Ketergantungan yang buta pada hal-hal yang tidak kekal ini niscaya akan menggelapkan visi, mengaburkan tujuan sejati, dan menjadikan individu mudah terombang-ambing oleh gelombang perubahan. Tanpa jangkar prinsip yang kokoh, arah hidup menjadi kabur, dan kebingungan menjadi teman setia.
Bayangkan seorang musafir yang terpukau oleh kilauan permata di kejauhan. Ia terus berlari mengejarnya, mengabaikan bekal dan petunjuk jalan yang sebenarnya. Semakin jauh ia berlari, semakin dahaga dan lelah ia rasakan, dan permata itu tak kunjung mendekat. Begitulah gambaran jiwa yang terperangkap dalam kemelekatan. Ia mengejar bayangan, mengira itulah kebahagiaan, padahal kebahagiaan sejati terletak pada pemahaman diri dan pelepasan ikatan ilusi.
Namun, harapan selalu membentang di ujung lorong kegelapan. Ketika seseorang mampu “selesai” dengan dirinya sendiri—bukan dalam artian stagnan, melainkan dalam pemahaman yang mendalam tentang hakikat diri, kekuatan, dan kelemahannya—maka ia akan menemukan kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri. Inilah prinsip hidup yang mendasar: otentisitas yang lahir dari pemahaman diri yang utuh.
Maka, sebuah rumus sederhana namun mendalam terbentang di hadapan kita: jangan pernah menggantungkan kebahagiaan pada keinginan-keinginan yang rapuh. Lepaskan kemelekatan terhadap apapun yang bersifat sementara, renggutlah akar ketergantungan yang membelenggu jiwa. Ketika belenggu itu terlepas, ketika ilusi meredup, barulah cahaya hakikat diri akan bersinar terang, menuntun kita pada kedamaian dan pemahaman yang sejati. Di sanalah, dalam kebebasan dari kemelekatan, segala permasalahan menemukan penyelesaiannya, dan manusia menemukan dirinya dalam keutuhan yang hakiki.***