Oleh : Mustaqiem Eska
(pdlFile.com) Pesan bijak Imam Al-Ghazali, “Jika Kau Bukan Anak Raja, Juga Bukan Anak Ulama Besar, maka Menulislah!” yang mengutip hadits Raasulullah, dari ‘Abdullah bin ‘Amr dan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jagalah ilmu dengan menulis.” (Shahih Al-Jami’, no.4434. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Dan menjadi cambuk pengingat yang kuat, terutama bagi mereka yang merasa tak memiliki “darah biru” atau garis keturunan keilmuan yang masyhur. Kutipan ini bukan sekadar anjuran, melainkan sebuah mandat yang memantik semangat untuk beristiqamah dalam berkarya melalui tulisan. Ia adalah seruan untuk menjadikan pena sebagai jembatan kontribusi, sebuah jalan untuk mengukir jejak, bahkan ketika latar belakang tak menjanjikan panggung yang luas.
Pentingnya menulis telah diakui sejak lama, bahkan oleh para ulama besar seperti Imam Ali bin Abi Thalib dengan pernyataannya yang masyhur, “Qayyidul ‘Ilma bil Kitaabi” – Ikatlah ilmu dengan tulisan. Ungkapan ini menjadi landasan berpikir yang kemudian diikuti oleh para cendekiawan Muslim terkemuka seperti Imam Syafi’i dan Imam Nawawi. Mereka memahami bahwa ilmu adalah sesuatu yang rentan menguap jika tidak diabadikan. Menulis, dalam konteks ini, bukan hanya aktivitas kreatif, melainkan sebuah praktik pelestarian yang esensial. Ia memastikan bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui pengkajian, perenungan, dan pengalaman tidak lenyap ditelan waktu, melainkan terus mengalir dari generasi ke generasi.
Lebih dari sekadar catatan pribadi, tulisan berfungsi sebagai arsenal intelektual yang menguatkan dan melestarikan ilmu-ilmu Allah. Setiap huruf, kata, dan kalimat yang tertuang adalah upaya untuk menjaga kemurnian dan keberlanjutan risalah Ilahi. Ini bukan tentang mencari popularitas atau dikenal luas, melainkan tentang tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa cahaya ilmu tetap bersinar bagi umat manusia.
Menulis adalah sebuah pekerjaan mulia yang selaras dengan perintah Nabi Muhammad SAW, “Ballighu ‘anni walau ayat” – Sampaikanlah dariku walau satu ayat. Tulisan menjadi sarana dakwah yang efektif dalam menyebarkan nilai-nilai kebenaran, kearifan, dan petunjuk. Ia melampaui batasan ruang dan waktu, memungkinkan pesan-pesan suci mencapai khalayak yang lebih luas, bahkan hingga ke pelosok dunia yang mungkin tidak terjangkau oleh lisan.
Ketika seseorang merasa bahwa dirinya tidak terlahir dari keluarga bangsawan atau ulama besar, dan menyadari bahwa ia memang tidak harus menjadi “siapa-siapa” dalam artian ketenaran duniawi, maka momentum untuk menulis adalah saat yang paling tepat. Ini adalah sebuah pengakuan rendah hati atas posisi diri, namun sekaligus sebuah deklarasi kuat akan potensi kontribusi. Menulis adalah cara untuk mengukir makna dalam hidup, bukan untuk memamerkan diri, melainkan untuk mempersembahkan kemanfaatan.
Menulis adalah wujud dari niat tulus untuk memberi manfaat kepada sesama. Setiap tulisan yang lahir dari hati yang ikhlas, dengan tujuan untuk mencerahkan, menginspirasi, atau memberikan solusi, akan meninggalkan jejak yang abadi. Ia akan menjadi amal jariyah, pahala yang terus mengalir bahkan setelah sang penulis tiada. Oleh karena itu, pesan Al-Ghazali bukan hanya relevan, tetapi juga menjadi motivasi spiritual yang tak tergoyahkan.
Bagi mereka yang merasa “bukan siapa-siapa”, pena adalah takdir yang menanti untuk diukir, sebuah jalan untuk menjadi “seseorang” yang bermanfaat di mata Allah dan bagi kemaslahatan umat.***