Oleh : Mustaqiem Eska
(pdlFile.com) Dunia ini panggung sandiwara, kata pujangga. Namun, bagaimana jadinya jika para aktornya salah kostum, salah naskah, bahkan salah panggung? Inilah premis menggelikan yang seringkali menghiasi kehidupan kita, terutama ketika seseorang nekat menceburkan diri ke dalam kolam pekerjaan yang bukan habitat aslinya. Tunggulah kehancurannya? Oh, lebih tepatnya, tunggulah pertunjukan komedi tragis yang akan membuat kita menggaruk kepala sambil menahan tawa.
Bayangkanlah seorang ahli bedah syaraf yang tiba-tiba didapuk menjadi koki di restoran bintang lima. Alih-alih menghasilkan filet mignon yang lembut, mungkin yang tersaji adalah irisan daging dengan presisi bedah yang menakutkan, lengkap dengan garnish berupa sayuran yang ditata menyerupai anatomi tubuh. Pelanggan akan datang dengan rasa penasaran, namun pulang dengan trauma kuliner yang mendalam. Pertanyaannya, apakah ini inovasi gastronomi atau malapetaka cita rasa?
Atau, mari kita lirik kisah seorang penyair romantis yang terpaksa menjadi mandor bangunan. Alih-alih mengawasi adukan semen dan pemasangan bata, ia mungkin akan mendeklamasikan puisi cinta kepada tumpukan pasir, atau merangkai bata menjadi sajak-sajak melankolis yang sama sekali tidak kokoh. Para pekerja bangunan akan terheran-heran, sementara bangunan impian perlahan menjelma menjadi reruntuhan puitis. Pertanyaannya, apakah ini seni instalasi atau kegagalan struktural?
Jangan lupakan pula seorang akuntan perfeksionis yang mencoba peruntungan sebagai disc jockey di klub malam. Alih-alih memadukan beat yang membangkitkan semangat, ia mungkin akan menyusun playlist berdasarkan urutan abjad atau membuat laporan keuangan detail untuk setiap lagu yang diputar. Lantai dansa akan sunyi senyap, para pengunjung akan menguap berjamaah, dan sang akuntan akan meratapi hilangnya logika dalam dunia musik. Pertanyaannya, apakah ini inovasi hiburan atau pembantaian ritme?
Kisah-kisah semacam ini bukan isapan jempol belaka. Di setiap sudut kehidupan, kita mungkin pernah menyaksikan, atau bahkan menjadi pelaku, dari lakon absurd ini. Seorang guru bahasa yang mencoba memperbaiki pipa bocor, seorang insinyur yang membuka salon kecantikan, seorang pengacara yang berjualan ikan di pasar – semuanya adalah potret kegagalan yang menggelikan, sebuah ironi di mana niat baik bertemu dengan ketidakmampuan yang memuncak.
Tentu saja, ada pengecualian. Ada segelintir orang yang berhasil menaklukkan tantangan di luar zona nyaman mereka. Namun, bagi sebagian besar dari kita, mencoba melakukan pekerjaan yang bukan keahlian kita adalah resep jitu untuk kekacauan. Bukan karena kita bodoh, melainkan karena setiap profesi membutuhkan keahlian, pengetahuan, dan pengalaman yang spesifik. Memaksakan diri masuk ke ranah yang asing sama halnya dengan mencoba memainkan orkestra dengan hanya satu biola yang fals.
Jadi, ketika kita melihat seseorang dengan penuh semangat mengerjakan sesuatu yang jelas-jelas bukan bidangnya, alih-alih mencibir, mungkin kita perlu sedikit bersabar dan menyiapkan kamera. Karena, di balik kegagalan yang tak terhindarkan, seringkali tersimpan hiburan yang tak ternilai harganya. Dan di akhir pertunjukan yang kacau balau itu, kita hanya bisa bertanya dengan nada heran bercampur geli: “Pertanyaannya…? Sebenarnya, apa yang mereka pikirkan?” ***