Oleh : Mustaqiem Eska
(pdlFile.com) Penerimaan takdir adalah sebuah perjalanan spiritual yang mendalam, sebuah esensi dari kebijaksanaan hidup yang menggarisbawahi bahwa mengeluh sejatinya adalah bentuk ketidakadilan terhadap diri sendiri dan karunia Ilahi. Dalam setiap helaan napas, kita dihadapkan pada pilihan: menyerah pada pusaran keluh kesah atau merangkul lapangnya rahmat Allah. Adalah suatu kebenaran universal bahwa hidup tak sepantasnya diratapi.
Mengapa kita harus menolak keluh kesah? Alasannya sederhana namun fundamental: rahmat Allah jauh sangat luas. Tidak ada satu pun alasan, seberat apa pun cobaan yang datang, yang dapat membenarkan keputusasaan dari rahmat-Nya. Seperti yang diserukan dalam kitab suci Al-Qur’an dan yang juga pernah ditulis dalam buku La Tahzan -Dr. Aidh al-Qarni- “Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah” (Q.S. Az-Zumar: 53). Ayat ini bukan sekadar kalimat penenang, melainkan sebuah perintah ilahiah yang mengakar pada keyakinan akan kemahabesaran dan kemahakuasaan Tuhan.
Allah, sebagai Penguasa langit dan bumi, telah menjamin rezeki setiap makhluk-Nya. Kekhawatiran akan masa depan, rasa takut akan kekurangan, seringkali menjadi pemicu utama keluhan. Padahal, janji Allah ini adalah jaminan yang tak terbantahkan. Rezeki bukan hanya sebatas materi, melainkan juga kesehatan, kebahagiaan, kedamaian, dan segala bentuk karunia yang menopang kehidupan. Ketika kita memahami bahwa Sang Pencipta telah mengatur segala sesuatu dengan sempurna, mengeluh menjadi sebuah bentuk protes terhadap kebijaksanaan-Nya.
Seringkali, yang membuat seseorang merasa lemah dan terperangkap dalam lingkaran keluhan adalah karena batas esensi keinginan yang melebihi ekspektasi. Manusia cenderung mematok standar kebahagiaan dan kesuksesan berdasarkan keinginan pribadi yang kadang melampaui kapasitas dan kenyataan. Ketika ekspektasi ini tidak terpenuhi, kekecewaan merayap dan berujung pada keluhan. Padahal, takdir bukan tentang memenuhi setiap keinginan, melainkan tentang menerima apa yang telah ditetapkan dan mencari hikmah di baliknya.
Berserah diri, dalam arti aktif, adalah wujud rasa syukur yang tinggi. Ini bukan berarti pasrah tanpa usaha, melainkan sebuah penerimaan yang disertai dengan ikhtiar maksimal dan penyerahan hasil akhir kepada Allah. Berserah diri secara aktif berarti kita telah melakukan yang terbaik, kemudian melepaskan beban ekspektasi yang berlebihan, dan mempercayai bahwa apa pun hasilnya, itulah yang terbaik menurut kehendak-Nya. Ini adalah puncak ketenangan batin, di mana hati tidak lagi goncang oleh pasang surut kehidupan.
Memeluk takdir dengan lapang dada adalah kunci menuju kedamaian batin sejati. Ini adalah perjalanan untuk memahami bahwa setiap ujian adalah bentuk kasih sayang, setiap kesulitan adalah pelajaran, dan setiap kehilangan adalah jalan menuju sesuatu yang lebih baik. Mengeluh hanya akan menguras energi, menutup pintu rahmat, dan mengaburkan pandangan kita akan keindahan hidup.
Pada akhirnya, berdamai dengan takdir adalah sebuah seni. Seni untuk melihat kebaikan dalam setiap keadaan, bersyukur atas apa yang ada, dan meyakini bahwa Allah selalu memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya. Biarlah hati senantiasa berzikir, bibir senantiasa tersenyum, dan jiwa senantiasa berserah, karena dengan demikian, kita akan menemukan kebahagiaan yang tak lekang oleh waktu dan tak tergoyahkan oleh ujian dunia. Saatnya, memohon kepada Allah agar diberikan takdir yang baik, ***