Oleh : Mustaqiem Eska
(pdlFile.com) Haji, sebuah perjalanan suci yang diidam-idamkan banyak insan. Bagi sebagian orang, naik haji itu seperti membalik telapak tangan, mudah dan cepat. Bagi yang lain, terutama kita, si “orang kecil”, haji adalah mimpi yang terus dipupuk, disiram dengan kesabaran, dan dipupuk dengan harapan. Konon, haji itu panggilan, kewajiban bagi yang mampu. Tapi, apa itu “mampu”? Apakah hanya sekadar punya uang banyak?
Saya selalu percaya, di balik setiap ketentuan Ilahi, ada keadilan yang tak terhingga. Kita sering mendengar, “Haji itu bagi yang mampu.” Dan seringkali, pemahaman kita tentang “mampu” itu sempit, hanya sebatas finansial. Padahal, kemampuaan sejati itu bukan cuma soal harta, tapi juga soal izin, kuasa, dan takdir dari Allah. Haji itu mutlak atas izin dan kuasa-Nya saja. Sehebat apapun uang kita, setinggi apapun jabatan kita, kalau Allah belum mengizinkan, pintu Ka’bah takkan terbuka.
Nah, tahun ini ada angin segar yang bikin hati adem. Kabar bahwa pemerintah Arab Saudi menutup penerbitan visa furoda itu seperti bocoran sorga di tengah gurun. Dulu, rasanya ada “kasta” dalam haji. Ada yang bisa nyelonong duluan lewat jalur VIP, bayar Rp 975,3 juta, dan langsung berangkat. Kita yang “orang kecil” ini cuma bisa elus dada, gigit jari, sambil terus bermunajat. Tapi sekarang, kasta itu seolah sirna. Tak ada lagi jaminan bahwa yang kaya raya bisa menerobos jalur haji seenaknya.
Alhamdulillah, kita seragam sekarang. Kita, para “orang kecil” yang selama ini ikhlas dengan seadanya, kini merasa sejajar dengan mereka yang biasanya pergi haji berkali-kali. Selama ini, bagi kami, bisa mendaftar haji saja sudah syukur luar biasa. Rasanya seperti sudah melakukan perjalanan haji yang sesungguhnya, walau harus menunggu lima tahun, sepuluh tahun, bahkan mungkin lima puluh atau seratus tahun lagi. Ya, seratus tahun! Saking lamanya antrean. Tapi, apa masalahnya? Niat itu sudah separuh perjalanan.
Kekuatan niat itu tak terhingga. Allah Maha Melihat, Maha Mengetahui isi hati kita. Sekadar punya niat suci untuk berhaji, bagi kami “orang kecil” ini, sudah merupakan anugerah yang sangat besar. Ada kekuatan tersendiri yang muncul dari niat itu. Kekuatan untuk sabar menunggu, kekuatan untuk terus berusaha, dan kekuatan untuk bersyukur atas setiap rezeki yang ada.
Lagipula, bukankah Rasulullah Sholallahu alaihi wasalam bersabda, ada banyak amalan lain yang pahalanya setara dengan haji dan umrah? Membantu sesama, berbakti kepada orang tua, menuntut ilmu, atau bahkan sekadar duduk berzikir setelah shalat subuh hingga terbit matahari. Dengan jalur-jalur “alternatif” yang disabdakan Nabi itulah kami, para “orang kecil,” sudah sangat bersyukur alhamdulillah. Ini bukan berarti kami tidak ingin berhaji, tentu saja ingin sekali! Tapi kami sadar, Allah punya cara-Nya sendiri untuk menganugerahkan pahala, bahkan tanpa harus menginjakkan kaki di tanah suci.
Maka, biarlah kami terus bermimpi, terus bersabar, dan terus memupuk niat suci ini. Karena pada akhirnya, haji itu bukan hanya soal perjalanan fisik, tapi juga perjalanan hati. Dan perjalanan hati itu, insya Allah, sudah kami mulai jauh sebelum pesawat take off.***