Oleh : Mustaqiem Eska
(pdlFile.com) Sejak fajar peradaban, manusia telah terobsesi dengan pengukuran. Dari jejak kaki pertama yang menandai wilayah, hingga garis-garis imajiner yang membagi benua, kita terus berusaha mendefinisikan dan memahami ruang di sekitar kita. Ilmu ukur tanah, dengan segala presisi dan peralatannya, lebih dari sekadar disiplin teknis; ia adalah sebuah meditasi panjang tentang eksistensi, tentang bagaimana kita sebagai manusia memosisikan diri di dalam bentangan alam semesta. Melalui akurasi teodolit dan ketelitian pita ukur, kita tidak hanya memetakan permukaan bumi, tetapi juga secara tak sadar merenungkan makna keberadaan kita di atasnya.
Ketika seorang surveyor berdiri di tengah lapang, menatap cakrawala melalui lensa optik, ia bukan hanya melihat titik-titik koordinat. Ia melihat batas, potensi, dan kadang, jejak peradaban yang telah berlalu. Setiap sudut yang diukur, setiap jarak yang dicatat, adalah upaya untuk menempatkan keteraturan pada dunia yang pada dasarnya luas dan tak terbatas. Bukankah ini merefleksikan kerinduan fundamental manusia untuk menemukan keteraturan dalam kekacauan, untuk menciptakan makna dalam keacakan? Kita mengukur tanah untuk membangun rumah, jalan, dan jembatan—struktur fisik yang menjadi fondasi kehidupan sosial kita. Namun, di balik fondasi itu, ada pencarian akan kepastian, sebuah upaya untuk mengukuhkan pijakan kita di alam semesta yang sering terasa acuh tak acuh.
Lebih jauh, tindakan mengukur ini membawa kita pada pertanyaan-pertanyaan filosofis yang mendalam. Apa itu batas? Apakah ia sekadar garis yang kita ciptakan di atas kertas, ataukah ia mencerminkan batas-batas eksistensial kita sendiri—batas pengetahuan, kapasitas, dan bahkan mortalitas? Ketika kita membagi tanah menjadi petak-petak, kita tidak hanya mengklaim kepemilikan fisik, tetapi juga menegaskan kehadiran dan identitas kita di dunia. Setiap bidang tanah yang terukur menjadi cerminan dari keinginan kita untuk meninggalkan jejak, untuk mengukir cerita kita sendiri dalam catatan yang abadi.
Ilmu ukur tanah juga mengajarkan kita tentang relativitas. Sebuah titik koordinat hanya bermakna dalam hubungannya dengan titik lain. Ketinggian diukur relatif terhadap permukaan laut, dan jarak ditentukan dari satu poin ke poin lainnya. Ini adalah cerminan dari bagaimana eksistensi kita sendiri: kita memahami diri kita dalam hubungan dengan orang lain, dengan lingkungan kita, dan dengan waktu. Tanpa titik referensi, segalanya menjadi kabur, tak berarti. Justru dalam proses penentuan referensi inilah kita menemukan makna, baik dalam peta maupun dalam narasi hidup kita.
Jadi, “mengukur dunia” adalah metafora untuk “memahami eksistensi.” Setiap kali kita menancapkan patok, setiap kali kita mengkalibrasi alat, kita sedang terlibat dalam sebuah dialog kuno dengan alam semesta. Dialog tentang posisi kita, tentang jejak yang kita tinggalkan, dan tentang bagaimana kita mendefinisikan ruang dan waktu yang menjadi panggung bagi drama kehidupan kita. Ilmu ukur tanah, dengan segala rasionalitas dan presisinya, pada dasarnya adalah seni merenung, sebuah undangan untuk menemukan filosofi di balik setiap garis yang ditarik, dan setiap meter yang diukur, membawa kita lebih dekat pada pemahaman tentang siapa kita di dunia yang terbentang luas ini.***