Dongeng oleh : Mustaqiem Eska
(3)
(pdlFile.com) Di palung samudra yang membentang luas, di antara gemerlap koral dan alunan arus yang tak pernah lekang, hiduplah sang Udang. Namun, kehidupannya diliputi nestapa. Ia menjadi bulan-bulanan cemoohan segenap penghuni lautan. Bisik-bisik sinis mengalir bagai arus dingin, menuduhnya sebagai makhluk tanpa akal, dengan otak, perut, dan kotoran yang bersemayam dalam kedekatan yang memilukan. Stigma buruk itu melekat erat, bahkan melintasi batas dunia bahari hingga menjadi peribahasa di bibir manusia, mengabadikan kebodohan dalam citra dirinya.
Terusik kalbunya yang paling dalam, Udang membulatkan tekad. Ia ingin menelisik jejak leluhurnya, mencari jawaban atas takdir yang seolah merendahkannya. Bertahun-tahun ia mengarungi samudra, menembus riak gelombang dan sunyi senyapnya palung, demi menemukan silsilah yang tersembunyi. Hingga, melalui bisikan arus yang terpercaya, ia menemukan secercah harapan. Daratan membawanya pada Serangga, makhluk kecil namun penuh keajaiban, yang ternyata adalah saudara jauhnya. Garis-garis kemiripan terjalin nyaris di sekujur tubuh mereka, sebuah pertalian yang tak terduga.
Sang Serangga, dengan kebijaksanaan alaminya, menuntun Udang lebih jauh. Dibawanya Udang menghadap Krustasea, sesepuh bahari yang dihormati, tak lain dan tak bukan adalah nenek moyang keduanya. Di hadapan Krustasea yang teduh, Udang menumpahkan segala keluh kesahnya. Kata-kata pilu meluncur bagai air mata samudra, menceritakan beban hinaan yang selama ini ia pikul.
Krustasea, dengan kelembutan hati yang membahana, merangkul kegundahan sang cucu. Ia menuturkan hikayat penciptaan, bagaimana Sang Khalik merajut setiap makhluk dengan maksud dan tujuan yang luhur. Dengan penuh kasih, Krustasea menelisik relung jiwa Udang, menanamkan benih syukur atas segala karunia Ilahi. “Ketahuilah, cucuku,” sabdanya dengan suara bagai desiran ombak yang menenangkan, “tiada ciptaan-Nya yang sia-sia. Setiap wujud menyimpan manfaat tersembunyi, sebuah permata yang menunggu untuk digali.”
Berbulan-bulan Udang menimba kearifan dari sang leluhur. Ia belajar tentang hakikat keberadaan, tentang keindahan dalam perbedaan, dan tentang kekuatan yang tersembunyi di balik setiap takdir. Hingga tiba saatnya, tirai jawaban tersibak. Krustasea membuka mata batin Udang, menunjukkan keunggulan-keunggulan yang selama ini tersembunyi dalam dirinya.
Udang terperangah. Ia mendapati kenyataan bahwa dalam setiap 100 gram tubuhnya tersimpan 24 gram protein, sebuah anugerah yang jauh melampaui ikan Salmon yang selama ini diagungkan. Pengetahuan itu bagai cahaya fajar yang menerangi kegelapan hatinya. Kepercayaan diri tumbuh bersemi, menyadari bahwa dirinya adalah karunia Tuhan yang tak ternilai.
Sejak saat itu, Udang hanya melihat rahmat Sang Pencipta yang terbentang luas di hadapannya. Ia mulai menggali potensi-potensi terpendam, memanfaatkan setiap kelebihan yang dianugerahkan. Berbekal rasa syukur yang mendalam dan keyakinan diri yang kokoh, kini Udang menjelma menjadi primadona di pasar ikan seluruh dunia. Harga dirinya melambung tinggi, mengalahkan segala pomeo tentang “otak udang” yang dulu menghantuinya. Baginya, cibiran masa lalu tak lagi relevan. Ia telah menemukan jati dirinya, bukan dari pandangan hina orang lain, melainkan dari keagungan Sang Pencipta yang telah menjadikannya berharga.***