Melupakan Mulyono

 

Oleh : Mustaqiem Eska

 

(pdlFile.com)  Di persimpangan zaman, ketika gerbang kemajuan terbuka semakin lebar, kita dihadapkan pada tanggung jawab besar untuk mewariskan bukan hanya gemerlap pencapaian, tetapi juga kejernihan sejarah. Sejarah, layaknya kompas, menuntun arah perjalanan bangsa, memberikan pelajaran berharga dari setiap jejak langkah yang telah terukir. Namun, bagaimana jika jejak langkah itu ternoda oleh kegelapan, oleh kepemimpinan yang buram dan penuh kontradiksi? Inilah pertanyaan mendasar yang mengantar kita pada refleksi tentang sosok Mulyono, seorang pemimpin yang kehadirannya dalam catatan sejarah bangsa justru menjadi peringatan keras bagi generasi mendatang.

Mulyono, dengan segala kekuasaan yang pernah digenggamnya, meninggalkan warisan yang jauh dari kata inspiratif. Alih-alih menjadi teladan keberanian dan pengabdian, namanya justru terasosiasi dengan praktik-praktik yang merusak sendi-sendi kepercayaan dan keadilan. Sejarah hidupnya, yang seharusnya menjadi sumber motivasi bagi penerus bangsa, justru dipenuhi dengan kabut ketidakjelasan dan keputusan-keputusan yang meragukan integritas. Bagaimana mungkin kita mewariskan potret seperti ini kepada generasi yang kita harapkan tumbuh menjadi pemimpin-pemimpin yang bersih, cerdas, dan berpihak pada kepentingan rakyat?

Melupakan Mulyono dalam konteks keteladanan bukanlah tindakan amnesia sejarah. Justru sebaliknya, ini adalah langkah sadar untuk memilah dan memilih narasi yang layak untuk diwariskan. Kita tidak menghapus fakta bahwa ia pernah ada, namun kita menolak untuk menjadikannya panutan. Kita menolak untuk membiarkan noda sejarahnya mengaburkan visi generasi mendatang tentang kepemimpinan yang ideal.

Generasi yang akan datang memiliki hak untuk tumbuh dalam lingkungan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, transparansi, dan keberpihakan pada kepentingan publik. Mereka berhak untuk belajar dari para pemimpin yang rekam jejaknya bersih, yang perjuangannya didedikasikan sepenuhnya untuk kemajuan bangsa, bukan untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok tertentu. Ilmu pengetahuan yang mereka kuasai, keberanian yang mereka miliki, dan ketulusan hati yang mereka pupuk, akan menjadi modal utama untuk membangun Indonesia yang lebih adil dan makmur.

Pelajaran dari masa lalu, termasuk keberadaan sosok seperti Mulyono, justru menjadi katalisator bagi generasi mendatang untuk berbuat lebih baik. Mereka belajar bahwa kekuasaan tanpa akuntabilitas adalah racun, bahwa kepemimpinan tanpa integritas adalah pengkhianatan. Mereka akan tumbuh dengan kesadaran bahwa kepentingan rakyat adalah amanah suci yang harus dijunjung tinggi di atas segala kepentingan pribadi.

Oleh karena itu, narasi tentang Mulyono harus ditempatkan dalam bingkai yang tepat: sebagai studi kasus tentang kepemimpinan yang gagal, tentang bahaya penyalahgunaan kekuasaan, dan tentang pentingnya memiliki pemimpin yang bersih dan transparan. Kita tidak perlu mengagungkannya, apalagi menjadikannya suri teladan. Tugas kita adalah memastikan bahwa generasi mendatang belajar dari kesalahannya, agar mereka tidak mengulanginya.

Sebagai rakyat, (cukup) fokus pada pembangunan narasi kepemimpinan yang positif dan inspiratif. Mari kita perkenalkan kepada generasi muda tokoh-tokoh bangsa yang benar-benar berjasa, yang perjuangannya didasari oleh idealisme dan pengabdian tulus kepada rakyat. Dengan demikian, kita tidak hanya mewariskan sejarah, tetapi juga harapan dan keyakinan akan masa depan Indonesia yang lebih gemilang. Melupakan Mulyono sebagai teladan adalah langkah maju yang penting, demi memastikan bahwa obor kepemimpinan di masa depan dipegang oleh tangan-tangan yang bersih dan hati yang tulus.***

 

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *