Oleh : Mustaqiem Eska
(pdlFile.com) Gagasan yang tertuang dalam setiap karya menggema kuat dalam langit pemikiran tentang seni, pengetahuan, dan ciptaan manusia secara luas. Ia menantang konsepsi kepemilikan individual atas buah pikiran dan kerja keras, menawarkan perspektif radikal bahwa sebuah karya, begitu ia terwujud, seharusnya melampaui batas-batas penciptanya dan menjelma menjadi milik bersama.
Ketika seorang penulis menorehkan kata demi kata, merangkai kalimat menjadi paragraf, dan akhirnya membentuk sebuah keseluruhan karya, ia sesungguhnya tengah melakukan sebuah tindakan pelepasan. Ide-ide yang semula bersemayam dalam benaknya, pengalaman yang terinternalisasi, dan imajinasi yang berkecamuk, menemukan bentuk konkret di atas medium. Namun, begitu karya itu selesai dan dipublikasikan, ia seolah-olah melepaskan jangkar dari pelabuhan individualitas. Kata-kata itu kini memiliki potensi untuk melanglang buana, memasuki pikiran dan hati pembaca yang beragam, di berbagai ruang dan waktu.
Pandangan bahwa penulis “tidak berhak memilikinya” mungkin terdengar kontroversial dalam masyarakat yang menjunjung tinggi hak cipta dan kepemilikan intelektual. Namun, gagasan ini memiliki akar filosofis yang kuat. Sebuah karya tulis, lebih dari sekadar rangkaian kata, adalah sebuah tawaran, sebuah undangan untuk berdialog. Pembaca tidak hanya menyerap informasi atau mengikuti alur cerita; mereka membawa latar belakang, pengalaman, dan interpretasi unik mereka sendiri ke dalam proses membaca. Dengan demikian, makna sebuah karya tidak lagi sepenuhnya dikendalikan oleh intensi penulis, melainkan lahir dari pertemuan antara teks dan pembaca.
Ambil contoh sebuah puisi yang sarat metafora. Makna yang ditangkap oleh seorang remaja yang baru mengalami patah hati akan berbeda dengan makna yang direnungkan oleh seorang lansia yang telah melewati berbagai liku kehidupan. Keduanya sama-sama valid, sama-sama merupakan “milik” mereka dalam pengalaman membaca. Penulis, dalam kerendahan hatinya, harus mengakui bahwa karyanya telah mengambil jalannya sendiri, mungkin jauh melampaui apa yang ia bayangkan saat pertama kali menuliskannya.
Begitu pula dengan karya-karya dalam bidang lain. Sebuah inovasi teknologi, misalnya, diciptakan oleh individu atau kelompok tertentu. Namun, manfaatnya akan dirasakan oleh banyak orang, mengubah cara hidup dan berinteraksi. Sebuah karya seni, setelah dipamerkan, akan memicu berbagai emosi dan interpretasi subjektif dari para pengamatnya. Dalam semua kasus ini, esensi dari karya tersebut terletak pada dampaknya, pada bagaimana ia beresonansi dan memberikan nilai bagi orang lain.
Lewat gagasan, siapapun layak untuk membacanya dan mengambil hikmah darinya. Ia adalah sebuah penegasan akan kekuatan literasi dan potensi transformatif dari sebuah narasi. Setiap pembaca berhak untuk mengakses pengetahuan, merasakan emosi, dan merenungkan ide-ide yang terkandung dalam sebuah buku atau tulisan. Proses membaca adalah sebuah tindakan aktif, di mana pembaca membangun pemahaman mereka sendiri, menghubungkan teks dengan pengalaman pribadi, dan menarik pelajaran yang relevan bagi hidup mereka.
Penulis yang “melepaskan semua karya-karyanya untuk dibaca siapa saja” tidak kehilangan apa pun. Sebaliknya, ia mendapatkan imbalan yang jauh lebih berharga: resonansi karyanya dalam benak banyak orang, potensi untuk menginspirasi, menghibur, atau bahkan mengubah hidup pembaca. Tindakan menulis itu sendiri adalah sebuah bentuk kontribusi, sebuah upaya untuk berbagi visi, pengetahuan, atau emosi dengan dunia. Kepuasan seorang penulis adalah pada dampak positif yang ditimbulkan oleh karyanya.
Tentu, isu hak cipta dan penghargaan terhadap kerja penulis tetap relevan dalam konteks ekonomi dan profesional. Namun, pada tataran filosofis yang lebih dalam, karya itu layak diserahkan. Menulis, adalah sebuah tindakan memberi. Seorang penulis memberikan sebagian dari dirinya, buah pemikirannya, kepada dunia. Ia menanam benih yang harapannya akan tumbuh dan bersemi dalam benak para pembaca. Keindahan dari proses ini terletak pada kenyataan bahwa benih yang sama dapat menghasilkan bunga yang berbeda-beda, masing-masing unik dalam warna dan aromanya, tergantung pada tanah dan iklim di mana ia tumbuh.
Pelepasan sebuah karya bukanlah sebuah penolakan terhadap peran dan kontribusi penulis. Sebaliknya, ia adalah sebuah undangan untuk melihat karya tulis sebagai entitas yang hidup, yang memiliki potensi untuk melampaui batasan individualitas dan menjadi bagian dari kesadaran kolektif. Ketika seorang penulis melepaskan karyanya, ia tidak kehilangan; ia justru mengundang lebih banyak suara untuk berinteraksi dengannya, memperkaya maknanya, dan memastikan keabadiannya dalam ingatan dan pemahaman banyak orang. Menulis, pada akhirnya, adalah tentang membangun jembatan, bukan tembok kepemilikan.***