Nanda

Kontemplasi Puisi ”Nanda” Karya Mustaqiem Eska

Mencari Makna di Antara Partikel Materi dan Getaran Jiwa

——————————–

 

NANDA

Oleh :  Mustaqiem eska

 

nanda…

pergilah ke bumi

ambil seluruh besi

ini harihari penuh gravitan

lulurkan proton dan neutron yang kau punya

: magnesian !

magnesiankanlah tubuh, juga ruh

pada utara dan selatan

empati Thales…

 

nanda…

bersama malam juga siang

jejak para nabi

para suluh

para ulul azmi

para ferromagnetik

para parramagnetik

bersatulah di hati dan pikiranmu

nanda…

jejak mubarrok

saat setiap badan

adalah trilyunan sel

yang menjaga ruh dan jiwa

penuh gravitasi cintaNya

nanda…

ruku’ dan sujudlah

bersama roki’in dan sajidin

nanda…

ferra, ya… ferrakanlah magnesiamu

sebab tak pantas mendustakan partikel nikmat yang mana ?

nanda …

tetap ruku’ dan sujudlah

searah selalu menujuNya

 

(Purwokerto,01062017)

————————————-

 

(pdlFile.com) Puisi “NANDA” karya Mustaqiem Eska mengajak pembaca dalam sebuah kontemplasi mendalam tentang eksistensi, spiritualitas, dan keterhubungan antara alam semesta dan diri manusia. Melalui penggunaan bahasa yang padat, simbolisme yang kaya, dan referensi filosofis serta religius, Mustaqiem Eska menciptakan sebuah puisi yang tidak hanya indah secara estetika, tetapi juga menggugah pemikiran.

Puisi ini memperlihatkan kekhasan dalam penggunaan diksi dan struktur. Pengulangan kata “Nanda” di awal setiap bait berfungsi sebagai apostrophe, sebuah sapaan atau seruan yang menciptakan kedekatan dan intensitas. Nama “Nanda” sendiri terasa personal, mungkin merujuk pada seseorang yang menjadi fokus meditasi atau representasi dari jiwa yang sedang mencari.

Pilihan kata yang dipilih oleh Mustaqiem Eska sangat menarik. Frasa “hari-hari penuh gravitan” pada bait pertama menciptakan citra beban eksistensial, sebuah kondisi di mana manusia terikat oleh hukum alam dan realitas duniawi. Permintaan untuk “meluluhkan proton dan neutron” secara metaforis dapat diartikan sebagai upaya untuk melepaskan diri dari keterikatan materi, mencari esensi yang lebih dalam di luar partikel-partikel penyusun fisik.

Penggunaan istilah ilmiah seperti “magnesian,” “proton,” dan “neutron” berpadu dengan konsep filosofis “empati Thales.” Thales, seorang filsuf Yunani kuno, dikenal dengan pandangannya bahwa air adalah prinsip dasar segala sesuatu. Penyebutan “empati Thales” mungkin menyiratkan sebuah ajakan untuk merasakan keterhubungan fundamental dengan alam semesta, sebuah pemahaman intuitif tentang kesatuan segala yang ada. Perintah untuk “magnesiankanlah tubuh, juga ruh” mengisyaratkan proses internal untuk menyelaraskan aspek fisik dan spiritual melalui kekuatan magnetisme, sebuah metafora untuk daya tarik kosmik atau energi kehidupan.

Bait kedua memperluas cakupan referensi dengan menyebutkan “jejak para nabi, para suluh, para ulul azmi.” Ini menghadirkan dimensi religius, menghubungkan perjalanan spiritual “Nanda” dengan warisan kebijaksanaan para utusan Tuhan. Istilah “para ferromagnetik” dan “para parramagnetik” kembali menghadirkan unsur ilmiah, namun dalam konteks ini, bisa diinterpretasikan sebagai metafora untuk berbagai jenis daya tarik atau pengaruh yang membentuk keyakinan dan pemikiran manusia. Seruan untuk bersatu “di hati dan pikiranmu” menekankan pentingnya integrasi spiritual dan intelektual.

Bait ketiga memperkenalkan konsep “jejak mubarrok” (jejak yang diberkahi) dan menghubungkannya dengan kompleksitas biologis manusia (“trilyunan sel yang menjaga ruh dan jiwa”). Ini menyiratkan bahwa bahkan dalam kerumitan fisik, terdapat potensi spiritual yang mendalam, dipenuhi oleh “gravitasi cintaNya,” sebuah metafora untuk kekuatan ilahi yang menarik dan menjaga eksistensi.

Bait-bait selanjutnya semakin menekankan tindakan spiritual seperti “ruku’ dan sujud,” istilah yang sangat lekat dengan ibadah dalam Islam. Penyebutan “roki’in dan sajidin” (orang-orang yang ruku’ dan sujud) memperkuat nuansa religius dan mengajak pada tindakan penyerahan diri. Pengulangan perintah untuk “ferra, ya… ferrakanlah magnesiamu” dengan penekanan pada “sebab tak pantas mendustakan partikel nikmat yang mana ?” menghubungkan kembali unsur material (“ferra” yang mengacu pada besi, elemen feromagnetik) dengan rasa syukur atas nikmat Tuhan yang termanifestasi dalam segala aspek kehidupan, bahkan dalam partikel-partikel terkecil.

Akhir puisi dengan seruan untuk “tetap ruku’ dan sujudlah / searah selalu menujuNya” menegaskan tujuan akhir dari perjalanan spiritual ini: kepasrahan total dan orientasi yang tunggal kepada Sang Pencipta.

Masya Allah, secara filosofis, puisi “NANDA” menyentuh beberapa tema sentral dalam pemikiran manusia. Pertama, tema dualitas dan kesatuan. Puisi ini mencoba menjembatani jurang antara materi dan spirit, antara ilmu pengetahuan dan keyakinan. Penggunaan istilah ilmiah dan religius secara berdampingan menunjukkan upaya untuk melihat keduanya sebagai aspek yang saling melengkapi dalam memahami eksistensi.

Kedua, tema eksistensi dan transendensi. “Nanda” digambarkan sedang dalam perjalanan mencari makna, melepaskan diri dari beban duniawi (“gravitan”) untuk mencapai pemahaman yang lebih tinggi. Tindakan “ruku’ dan sujud” melambangkan upaya untuk melampaui keterbatasan diri dan terhubung dengan yang transenden.

Ketiga, tema keterhubungan. Referensi pada “empati Thales” dan persatuan “di hati dan pikiranmu” mengisyaratkan pentingnya merasakan dan memahami keterkaitan antara manusia, alam, dan Tuhan. Puisi ini mengajak untuk melihat diri sebagai bagian integral dari keseluruhan kosmos.

Keempat, tema syukur dan pengakuan. Pertanyaan retoris “sebab tak pantas mendustakan partikel nikmat yang mana ?” mengajak pembaca untuk merenungkan dan mensyukuri setiap aspek kehidupan, sekecil apapun. Ini adalah pengakuan atas kemurahan Tuhan yang hadir dalam setiap detail penciptaan.

Pantaslah, puisi “NANDA” oleh Mustaqiem Eska adalah sebuah karya yang kaya akan makna dan lapisan interpretasi. Melalui pendekatan sastra, kita dapat mengapresiasi keindahan diksi, penggunaan metafora dan simbolisme, serta struktur yang membangun intensitas dan fokus. Dari sudut pandang filosofis, puisi ini mengajak kita untuk merenungkan tentang dualitas eksistensi, upaya transendensi, pentingnya keterhubungan, dan rasa syukur atas nikmat kehidupan. “NANDA” bukan hanya sebuah sapaan, tetapi juga sebuah undangan untuk melakukan perjalanan spiritual dan intelektual yang mendalam, mencari makna di antara partikel materi dan getaran jiwa. (Wahyu Syahril, Sastrawan, tinggal di Padang)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *