MIMPI SIMON

(Esai Sastra)

Oleh : Mustaqiem Eska

 

 

(pdlFile.com) Kisah Simon, seekor kucing yang dianugerahi mimpi bersayap di kehangatan siang, adalah sebuah alegori sederhana namun mendalam tentang ambisi, penerimaan diri, dan batas antara khayalan dan kenyataan. Dalam tidurnya, Simon menjelma menjadi ikon, sebuah fenomena yang melampaui kodratnya sebagai seekor felidae rumahan. Keinginannya untuk merangkai kepulauan Indonesia dari Sabang hingga Merauke dalam satu penerbangan fantastis bukan hanya manifestasi dari kebahagiaan sesaat, tetapi juga simbol dari hasrat universal untuk melampaui batasan dan meraih cakrawala yang lebih luas.

Titik nol kilometer Sabang menjadi titik awal yang simbolis. Ia bukan hanya sekadar lokasi geografis, melainkan juga representasi dari awal sebuah perjalanan, sebuah mimpi yang membentang sejauh ribuan kilometer. Liputan media yang masif dan kebanggaan komunitas kucing menggambarkan bagaimana sebuah keunikan, bahkan yang paling fantastis sekalipun, dapat memicu kekaguman dan persatuan. Namun, narasi ini tidak luput dari intrik dan prasangka. Iri dengki dari kalangan kucing Anggora yang merasa superior menyoroti dinamika sosial yang abadi: keberhasilan dan keunikan seringkali menjadi sasaran bagi mereka yang merasa terancam atau tidak mampu memahami. Penilaian “terlalu berlebihan” adalah cerminan dari pandangan konservatif yang sulit menerima terobosan atau hal yang di luar kelaziman.

Perjalanan Simon dalam mimpinya adalah sebuah odisei mini melintasi lanskap budaya dan geografis Indonesia. Setiap kota yang dilaluinya – Aceh dengan kekayaan sejarahnya, Medan yang ramai, Padang dengan cita rasa kulinernya, hingga Halmahera yang eksotis – menjadi penanda dari keberagaman dan keluasan negeri ini. Mimpi Simon bukan hanya tentang terbang, tetapi juga tentang merangkul seluruh identitas Indonesia dalam satu pelukan imajiner. Ia menjadi duta persatuan dalam tidurnya, menghubungkan pulau-pulau yang terpisah oleh lautan.

Namun, realitas hadir dalam sosok Si Pendar, tuannya, yang tanpa sadar menjadi perwujudan dari batas-batas fisik dan duniawi. Terbangunnya Simon dari mimpi indah itu terasa seperti benturan keras dengan kenyataan. Kekecewaan dan kesal yang dirasakannya adalah luapan emosi dari jiwa yang baru saja merasakan kebebasan tanpa batas dan kini terkurung kembali dalam rutinitas sehari-hari. Tindakan Simon yang langsung berlari keluar rumah setelah terbangun bisa diinterpretasikan sebagai upaya bawah sadarnya untuk mempertahankan sisa-sisa kebebasan yang baru saja direngkuhnya.

Dan, “Ternyata mimpi bisa juga hampir seperti nyata,” menyimpan sebuah ironi yang mendalam. Di satu sisi, mimpi Simon terasa begitu hidup dan nyata hingga kekecewaannya saat terbangun begitu membekas. Di sisi lain, kalimat ini juga menyiratkan bahwa meskipun mimpi tidak sepenuhnya menjadi kenyataan fisik, dampaknya pada emosi dan persepsi kita bisa sangat kuat. Mimpi memberikan kita visi tentang apa yang mungkin, tentang potensi diri yang tersembunyi, bahkan jika potensi itu hanya terwujud dalam alam bawah sadar.

Mimpi Simon adalah kisah analog pengingat bahwa imajinasi dan mimpi memiliki kekuatan transformatif. Meskipun kita mungkin tidak memiliki sayap untuk terbang melintasi nusantara, keinginan untuk melampaui batas, untuk menjelajahi hal baru, dan untuk merangkul keberagaman adalah kualitas yang inheren dalam diri setiap makhluk. Mimpi Simon mungkin hanya terjadi di siang bolong, tetapi dampaknya, kesadaran akan luasnya dunia dan potensi diri, terasa begitu nyata hingga membekas dalam setiap gerak refleksnya setelah terbangun. Esensi dari perjalanan Simon bukan terletak pada terwujudnya penerbangan fisik, melainkan pada keberanian untuk bermimpi besar dan merasakan kebebasan, meskipun hanya sekejap.***

 

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *