1% Cahaya

1% Cahaya

Oleh : Mustaqiem Eska

 

“Sejauh kita sekolah berapa jarak langkah yang dikorbankan. Namun sejauh pengetahuan dalam memandang masalah, kerapkali yang mudah terlihat justru dominan kesalahan, dibandingkan hikmah kebaikan yang terlsedia dan terselip di dalamnya. Matahati gelap dan menutupi 1% cahaya. Padahal 1% cahaya bisa menerangi 99% kegelapan. Persoalannya, kita lebih memilih menutupnya rapat-rapat.”

 

(pdlFile.com)  Dalam setiap langkah yang kita jejakkan di lorong-lorong pendidikan, terukir jejak pengorbanan yang tak terhitung. Sejak bangku sekolah dasar hingga jenjang tertinggi, kita mengorbankan waktu, tenaga, bahkan mungkin sebagian dari kemurnian pandang kita terhadap dunia. Sejauh mata memandang, kurikulum yang padat dan tuntutan akademis yang menggunung seolah menjadi tolok ukur utama keberhasilan. Namun, ironisnya, dalam pencarian pengetahuan yang begitu gigih ini, seringkali kita justru tersesat dalam belantara kesalahan yang dominan, sementara percikan hikmah kebaikan yang terselip justru luput dari pandangan. Inilah yang saya sebut sebagai tragedi “Matahari Gelap” yang menutupi satu persen cahaya.

Kita terlalu sering terpaku pada permukaan, pada apa yang mudah terlihat dan segera dihakimi. Sebuah kesalahan, sekecil apa pun, kerap membayangi segalanya, mengaburkan potensi kebaikan dan pembelajaran yang terkandung di dalamnya. Perspektif kita menjadi sempit, terpusat pada kekurangan dan kegagalan, seolah-olah dunia ini hanya kumpulan noda yang harus dihapus. Padahal, di balik setiap kesalahan, setiap kegagalan, dan setiap ketidaksempurnaan, tersimpan benih-benih kearifan yang siap tumbuh jika saja kita bersedia membukakan diri. Ini adalah 1% cahaya yang mampu menerangi 99% kegelapan.

Satu persen cahaya itu bukanlah kemewahan, melainkan esensi. Ia adalah kemampuan untuk melihat melampaui cacat cela, untuk menemukan pelajaran dalam setiap kemelut, dan untuk mengapresiasi keindahan yang tersembunyi di balik keruwetan. Bayangkan sejenak: sebuah pemahaman baru yang lahir dari kekecewaan, sebuah solusi inovatif yang muncul dari kebuntuan, atau sebuah empati yang tumbuh dari perselisihan. Itu semua adalah manifestasi dari 1% cahaya yang bekerja. Namun, alih-alih merangkulnya, kita cenderung memilih untuk menutupnya rapat-rapat.

Mengapa kita memilih untuk membiarkan “Matahari Gelap” merajai pandangan kita? Mungkin karena rasa takut. Takut mengakui ketidaksempurnaan, takut menghadapi kebenaran yang tidak menyenangkan, atau takut bahwa membuka diri pada 1% cahaya akan berarti meninjau kembali asumsi-asumsi yang telah lama kita pegang. Kita terbiasa dengan habbit yang menempatkan kebenaran di satu sisi dan kesalahan di sisi lain, tanpa menyadari bahwa keduanya seringkali berkelindan, saling mengisi, dan menawarkan pelajaran yang berharga.

Pendidikan seharusnya tidak hanya tentang akumulasi fakta atau penghindaran kesalahan. Lebih dari itu, pendidikan adalah tentang menajamkan kemampuan kita untuk melihat, untuk menganalisis, dan untuk menemukan makna yang lebih dalam. Pendidikan sejati seharusnya melatih kita untuk mencari 1% cahaya di tengah 99% kegelapan, untuk mengenali hikmah yang terselip dalam setiap tantangan, dan untuk memiliki keberanian membuka mata kita pada potensi kebaikan yang selalu ada.

Ya, sudah saatnya kita bertanya pada diri sendiri: Berapa banyak lagi langkah yang harus kita korbankan dalam kegelapan yang kita ciptakan sendiri? Tidakkah lebih bijak jika kita mulai merendahkan hati, membuka pikiran, dan membiarkan 1% cahaya itu memancar? Karena hanya dengan demikian, kita dapat benar-benar menerangi 99% kegelapan yang selama ini membelenggu pandangan kita, dan menemukan makna sejati dari perjalanan pengetahuan ini.***

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *