Oleh : Mustaqiem Eska
(pdlFile.com) Di tengah deru zaman yang berputar bagai badai tak berkesudahan, di mana setiap detik membawa serta pusaran perubahan yang tak terduga, menanamkan keimanan bukanlah perkara mudah. Ia tak ubahnya sebuah konserto, simfoni agung yang dimainkan dengan ketekunan, diiringi melodi doa yang tak putus-putus. Keimanan, bak benih yang rapuh, memerlukan tanah yang subur, siraman kasih, dan perlindungan dari angin kencang agar dapat tumbuh kokoh dan berbuah.
Badai zaman kini memiliki banyak rupa. Ada badai informasi yang merenggut batas antara fakta dan fiksi, menyajikan realitas dalam mozaik yang membingungkan. Ada badai hedonisme yang mengikis nilai-nilai luhur, menjadikan kepuasan indrawi sebagai kiblat. Ada pula badai individualisme yang menumbuhkan sekat-sekat, melarutkan solidaritas dan kebersamaan. Dalam pusaran ini, jiwa-jiwa seringkali terombang-ambing, mencari pegangan yang kokoh namun kerap menemukan ilusi.
Di sinilah doa memainkan perannya sebagai konduktor utama dalam konserto keimanan. Doa bukan sekadar rangkaian kata yang diucapkan lisan, melainkan sebuah percakapan intim dengan Sang Pencipta, jembatan yang menghubungkan hati yang gundah dengan sumber ketenangan abadi. Setiap untaian doa adalah siraman rohani yang menguatkan akar-akar keimanan, melindunginya dari gersangnya spiritualitas. Melalui doa, kita mengakui kerapuhan diri dan ketergantungan mutlak pada kekuatan yang lebih besar, memupuk kerendahan hati yang esensial dalam menghadapi kesombongan zaman.
Namun, menanam keimanan tak cukup hanya dengan berdoa. Ia membutuhkan laku, tindakan nyata yang mencerminkan keyakinan. Sebagaimana seorang petani tidak hanya berharap pada hujan, tetapi juga mengolah tanah, menabur benih, dan merawatnya, demikian pula keimanan. Laku ini bisa berupa kesediaan untuk terus belajar dan memahami ajaran agama, mempraktikkan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan sehari-hari, berempati terhadap sesama, dan berani bersuara untuk kebenaran di tengah riuhnya kepalsuan. Ini adalah orkestrasi yang rumit, di mana setiap instrumen — dari akal hingga hati, dari ucapan hingga tindakan — harus berharmoni.
Dalam konserto ini, ada pula bagian di mana kesabaran dan ketabahan menjadi nada-nada minor yang justru memperkaya melodi. Keimanan tak selalu berjalan mulus. Ada kalanya badai menerjang dengan dahsyat, menguji setiap sendi keyakinan. Keraguan mungkin menyelinap, godaan mungkin membisik, dan keputusasaan mungkin mencoba merangkul. Di sinilah kesabaran menjadi pelabuhan, dan ketabahan menjadi sauh yang menjaga kapal keimanan tidak karam. Setiap cobaan adalah instrumen perkusi yang menghentak, namun justru dari hentakan itu timbul ritme ketahanan yang tak tergoyahkan.
Demikianlah, konserto doa untuk menanam keimanan di tengah badai zaman adalah sebuah proses yang tak pernah usai. Ia adalah simfoni kehidupan yang terus dimainkan, dengan doa sebagai irama utamanya, laku sebagai melodinya, dan kesabaran sebagai harmoninya. Ketika setiap nada dimainkan dengan tulus dan penuh kesadaran, benih keimanan akan tumbuh menjadi pohon yang kokoh, berakar dalam, berdaun rimbun, dan berbuah manis. Pohon ini akan menjadi oase di tengah gurun kegersangan, tempat jiwa-jiwa menemukan kedamaian, dan cahaya yang tak akan padam meskipun badai zaman terus bergemuruh.***