Hakikat Pendidikan Secara Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara

 

Oleh : Mustaqiem Eska

 

(pdlFile.com) Pendidikan adalah fondasi peradaban. Lebih dari sekadar proses transfer ilmu pengetahuan, pendidikan merupakan upaya penanaman nilai-nilai luhur yang membentuk karakter manusia seutuhnya. Di tengah dinamika zaman, relevansi pemikiran Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, semakin terasa. Pandangan beliau mengenai hakikat pendidikan menjadi kompas yang menuntun kita dalam menanamkan nilai-nilai luhur, menciptakan generasi yang berkarakter, mandiri, dan berbudaya.

Ki Hajar Dewantara merumuskan pendidikan sebagai “tuntunan”. Artinya, pendidikan bukan paksaan, melainkan sebuah proses menuntun anak untuk menemukan dan mengembangkan kodrat alaminya. Guru, dalam konsep ini, adalah pamong atau penuntun yang bertugas membimbing anak agar tidak kehilangan arah dan menemukan jalan yang benar. Ibarat petani, guru hanya bisa merawat dan memupuk tanaman, tetapi tidak bisa mengubah benih padi menjadi jagung. Hakikat ini mengajarkan kita untuk menghargai keunikan setiap anak dan memfasilitasi mereka untuk tumbuh sesuai potensinya.

Dalam proses menuntun, Ki Hajar Dewantara menekankan pentingnya trilogi pendidikan: Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani. Trilogi ini bukan hanya slogan, melainkan pedoman praktis dalam menanamkan nilai.

  • Ing Ngarsa Sung Tulada (di depan memberikan teladan). Guru harus menjadi contoh nyata dari nilai-nilai luhur yang diajarkan. Integritas, kejujuran, disiplin, dan rasa hormat tidak akan tertanam jika guru tidak mempraktikkannya. Teladan adalah bahasa universal yang paling efektif dalam pendidikan karakter.
  • Ing Madya Mangun Karsa (di tengah membangun kemauan). Guru berperan sebagai fasilitator yang menciptakan lingkungan belajar interaktif dan partisipatif. Guru mendorong siswa untuk berpikir kritis, berkreasi, dan berkolaborasi. Nilai-nilai seperti gotong royong, tanggung jawab, dan kemandirian tertanam melalui proses ini, bukan sekadar hafalan.
  • Tut Wuri Handayani (di belakang memberikan dorongan). Guru memberikan dukungan dan kepercayaan, membiarkan siswa mengambil peran utama dalam proses belajarnya. Kemandirian dan rasa percaya diri siswa tumbuh ketika mereka diberikan ruang untuk bereksplorasi, membuat kesalahan, dan belajar dari pengalaman. Guru berdiri di belakang, siap memberikan dukungan ketika dibutuhkan, tetapi tidak mengambil alih peran siswa.

Trilogi pendidikan Ki Hajar Dewantara tidak terlepas dari konsep pendidikan yang berorientasi pada kodrat alam dan kodrat zaman. Pendidikan harus relevan dengan konteks budaya dan alam siswa, tetapi juga harus membekali mereka dengan keterampilan yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan masa depan. Nilai-nilai luhur seperti kearifan lokal, gotong royong, dan musyawarah tetap relevan, tetapi cara menanamkannya harus disesuaikan dengan perkembangan teknologi dan sosial. Pendidikan yang statis akan melahirkan generasi yang tidak siap menghadapi perubahan.

Jadi hakikat penanaman nilai luhur dalam pendidikan, menurut Ki Hajar Dewantara, adalah menciptakan manusia yang merdeka. Merdeka dalam berpikir, merdeka dalam bertindak, dan merdeka dari belenggu ketidakpahaman. Manusia merdeka adalah pribadi yang mampu mengendalikan dirinya, menghargai sesama, dan berkontribusi positif bagi masyarakat. Pendidikan yang memanusiakan manusia, yang menuntun tanpa memaksakan, yang memberikan teladan tanpa menggurui, adalah wujud nyata dari warisan pemikiran Ki Hajar Dewantara yang tak lekang oleh waktu. Dengan kembali pada hakikat ini, kita bisa memastikan bahwa pendidikan akan terus menjadi mercusuar peradaban yang menerangi jalan menuju masa depan bangsa yang lebih gemilang.***

Related posts