Pati, Bukan Kota Purna

 

 

(Pati – pdlFile.com) Kota Pati, di jantung Jawa Tengah, kerap disematkan sebagai daerah yang teguh memegang tradisi. Namun, di balik kekukuhan itu, tersimpan sebuah denyut kehidupan yang jauh lebih mendalam, sebuah humanisme yang termanifestasi dalam etos kerja warganya: Pati adalah Kota Kreativitas yang tak pernah berhenti menciptakan karya, bahkan hingga usia senja.

Kreativitas di Pati bukan sekadar inovasi produk atau seni visual yang megah, melainkan sebuah kreativitas eksistensial—kemampuan luar biasa untuk terus merayakan dan mengisi ruang hidup dengan makna. Fenomena yang paling mencolok dari kota ini adalah jarangnya kita mendengar cerita tentang orang Pati yang “menganggur setelah pensiun.” Purna tugas bagi mereka bukanlah sebuah garis akhir, melainkan tikungan menuju ladang pengabdian yang baru.

Bagi sang Petani, tanah adalah kanvas abadi. Ia akan terus menanam, merawat, dan memanen, bukan semata karena kebutuhan ekonomi, tetapi karena tangannya telah menyatu dengan siklus alam. Keringat yang menetes di pematang sawah adalah tinta dari puisi bisu tentang ketekunan. Tubuh yang membungkuk bukanlah tanda renta, melainkan sikap hormat kepada bumi yang tak pernah meminta berhenti diolah. Ia bekerja sampai tua karena bekerja adalah cara ia berinteraksi dengan semesta, cara ia merayakan anugerah kehidupan.

Demikian pula dengan sang Pedagang. Pasar adalah panggungnya. Ia akan terus menjajakan dagangan, bernegosiasi, dan menimbang, bahkan ketika cucu-cucunya telah sukses. Kesibukan di meja atau lapak dagangnya adalah sebuah meditasi aktif. Dalam interaksi jual-beli, ia menemukan koneksi sosial, menjaga tali silaturahmi, dan yang terpenting, ia merasa dibutuhkan. Keaktifannya adalah sebuah penolakan halus terhadap keterasingan yang kerap datang bersama usia.

Bahkan para Guru dan Aparatur Sipil Negara (ASN), setelah formalitas pensiun membebaskan mereka dari meja kantor, tak lantas menyerah pada senyap. Mereka justru menciptakan kembali diri mereka. Mantan guru bisa mendapati dirinya kembali ke tambak atau koen, mengumpulkan garam untuk dijual, atau membuat kolam lele, hingga ternah kambing. Mereka mentransformasi energi birokrasi yang dulu terfokus pada aturan menjadi energi kemanusiaan yang tercurah pada tanah atau interaksi sosial. Bagi mereka, bekerja adalah sebuah kebutuhan spiritual, bukan hanya material.

Di Pati, kita menyaksikan sebuah budaya humanis yang meyakini bahwa nilai manusia terletak pada sumbangsihnya. Seorang individu merasa berharga bukan karena status atau jabatan, melainkan karena ia masih mampu berkarya dan berfungsi. Kegiatan dan kesibukan yang dipegang erat sepanjang usia ini telah menjadi sebuah tradisi, sebuah warisan tak tertulis: hidup haruslah diisi, dirayakan, dan dibagikan hingga napas terakhir.

Pati bukanlah kota yang gemerlap oleh pabrik-pabrik teknologi tinggi, tetapi ia adalah Kota Kreativitas dalam artian yang paling hakiki. Ia kreatif dalam merangkai hari, kreatif dalam mencari makna, dan kreatif dalam menolak kepunahan diri oleh kemalasan atau kepasifan. Budaya “anti-pensiun” ini adalah manifestasi tertinggi dari etos kemanusiaan: selama kita hidup, kita adalah pencipta, kita adalah pekerja, dan kita adalah bagian tak terpisahkan dari denyut nadi peradaban. Di Pati, kehidupan adalah sebuah epos yang tak pernah mengenal kata tamat, hanya perubahan babak dengan semangat yang sama membara. (Mustaqiem Eska)

 

Related posts