Di Hadapan Cermin

 

Oleh : Mustaqiem Eska

 

(pdlFile.com) Di hadapan cermin, sebuah ritual sederhana menjelma menjadi jendela kontemplasi yang mendalam. Bukan sekadar memandang rupa, melainkan sebuah perjalanan “mendapati diri” yang terbentang luas. Sepasang mata, anugerah tak ternilai, memungkinkan refleksi ini terjadi dengan sempurna. Betapa nikmatnya karunia ini, sebuah kemampuan untuk menyaksikan keberadaan diri secara utuh, tanpa cela. “Masya Allah,” bisik hati, mengagumi kebesaran Sang Pencipta yang telah melimpahkan penglihatan yang jernih dan menakjubkan ini.

Lebih dari sekadar indra, mata menjadi saksi bisu perjalanan jiwa. Ia merekam setiap senyum, setiap kerut dahi, setiap pancaran emosi yang mewarnai hari-hari. Namun, esensi dari refleksi di cermin ini melampaui fisik semata. Ia merangkai doa tulus saat bercermin “Allahuma kamaa hassanta kholqii fahassin khuluqi.  “Ya Allah, sebagaimana Engkau baguskan tubuhku, maka baguskanlah akhlakku.” (Hadits shahih riwayat Ibnu Hibban, Al Baihaqi, dan Abu Ya’la). sebuah permohonan agar keindahan lahiriah sejalan dengan keelokan budi pekerti.

Di sinilah terjalin benang merah yang tak terpisahkan antara wajah dan akhlak. Sesungguhnya, keindahan sejati bukanlah semata-mata garis wajah yang sempurna, melainkan pancaran jiwa yang terpancar dari akhlak yang mulia. Budi pekerti yang luhur adalah “makeup” abadi yang menghiasi diri, memberikan nilai dan pesona yang tak lekang oleh waktu. Wajah yang tampak indah hanyalah konsekuensi logis dari hati yang bersih, tutur kata yang santun, dan tindakan yang penuh kasih.

Sebaliknya, wajah yang berseri-seri, sebagaimana digambarkan dalam hadits Rasulullah, seringkali merupakan cerminan dari kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya. Malam-malam yang dihiasi dengan sujud dan tahajud memancarkan ketenangan dan cahaya spiritual yang terpancar pada wajah. Kedekatan dengan Sang Khalik membentuk karakter, memoles jiwa, dan pada akhirnya, memancarkan keindahan yang hakiki.

Dari sahabat Jabir, Nabi Muhammad sholallahu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda, “Barangsiapa banyak melakukan shalat di malam hari, maka wajahnya akan menjadi bagus di waktu siang.”

Abul Qasim Al-Hakim ditanya tentang sabda Nabi Muhammad. “Carilah kebaikan itu pada orang yang berwajah bagus!” Maka ia menjawab, “Yakni carilah pada orang-orang yang suka sholat tahajud di waktu malam, yang wajah-wajah mereka menjadi bagus karena banyak melakukan shalat di malam hari.”

Maka, aktivitas memandang wajah di cermin tidak lagi sekadar rutinitas. Ia bertransformasi menjadi ruang muhasabah, tempat introspeksi diri yang mendalam. Setiap tatapan adalah kesempatan untuk mengevaluasi akhlak, menimbang perbuatan, dan merenungkan sejauh mana diri ini telah berjalan sesuai dengan ridha-Nya. Berkaca menjadi momen dzikir, sebuah pengingat akan kebesaran Allah dan betapa fana dan berharganya kehidupan ini.

Dalam keheningan di depan cermin, kita diajak untuk menelanjangi ego, mengakui kelemahan, dan memupuk niat untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Pantulan diri bukan hanya tentang apa yang terlihat, tetapi tentang apa yang terasa di dalam hati dan bagaimana hal itu termanifestasi dalam setiap interaksi dengan sesama dan dengan Sang Pencipta.

Dengan demikian, “mendapati diri” di depan cermin adalah sebuah perjalanan spiritual yang berkelanjutan. Ia adalah pengingat akan karunia mata yang memungkinkan kita melihat, bukan hanya dunia luar, tetapi juga kedalaman jiwa sendiri. Dan yang terpenting, ia adalah ajakan untuk terus berupaya merajut akhlak mulia, sebab di sanalah letak keindahan sejati yang abadi, sebuah cerminan dari rahmat dan kasih sayang Ilahi.***

Related posts