Kopi Rasa Tauhid

 

Oleh : Mustaqiem Eska

 

 

اللَّهُمَّ مَا أَصْبَحَ بِي مِنْ نِعْمَةٍ أَوْ بِأَحَدٍ مِنْ خَلْقِكَ فَمِنْكَ وَحْدَكَ لَا شَرِيكَ لَكَ، فَلَكَ الْحَمْدُ وَلَكَ الشُّكْرُ

“Ya Allah, nikmat apa pun yang diterima olehku atau siapa pun ciptaan-Mu, itu hanya dari-Mu, Engkau tidak ada sekutu. Segala puji hanya bagi-Mu dan segala syukur hanya bagi-Mu.” Ahmad 3/406-7, 5/123, An-Nasa’i, ‘Amalul-Yawm wal-Laylah (no. 34), At-Tirmidzi 4/209)

 

(pdlFile.com)  Rasa kopi, sebuah kenikmatan universal yang seringkali dianggap remeh, ternyata menyimpan filosofi mendalam tentang proses, kesabaran, dan hikmah ilahi. Dalam skenario yang didesain sedemikian rupa oleh Allah Sang Maha Satu, setiap tahapan dalam menciptakan secangkir kopi berkualitas adalah cerminan dari pelajaran hidup yang berharga. Sebagaimana membaca Al-Qur’an yang menuntut tartil, bukan sekadar “ngglonyor” tanpa makna, begitu pula kopi, tak akan nikmat jika diseduh dan langsung diseruput. Allah mencintai proses, dan dalam proses itulah tersembunyi keindahan dan kesempurnaan.

Proses penggilingan biji kopi adalah analogi pertama yang menarik. Biji kopi harus dihancurkan, digiling, agar esensinya mudah menguap dan aromanya keluar. Namun, tingkat kehancurannya pun tak boleh sembarangan. Terlalu halus akan menghasilkan kopi yang terlalu pahit, sementara terlalu kasar akan membuatnya terlalu asam. Ini adalah gambaran tentang moderasi dan keseimbangan dalam hidup. Setiap “kehancuran” atau cobaan yang kita alami dalam hidup, sejatinya adalah proses penggilingan yang membentuk kita, mengeluarkan potensi terbaik dalam diri. Namun, harus ada batasnya, agar kita tidak tercerai berai atau justru kehilangan jati diri.

Selanjutnya, penyeduhan dengan air panas secara perlahan, pada suhu ideal 93-96 derajat Celcius, menggambarkan pentingnya ketepatan dan kesabaran. Semakin rendah suhu air, rasa kopi semakin asam, menunjukkan bahwa setiap tindakan memerlukan perhatian dan dedikasi. Begitu pula dalam menghadapi urusan dunia dan akhirat, kita harus cermat dan teliti, tidak terburu-buru, agar hasil yang diperoleh sesuai dengan harapan.

Puncak dari proses penyeduhan kopi adalah fase pengendapan, di mana kopi dibiarkan larut secara alami selama 3-5 menit tanpa diaduk. Ini adalah momen penyerahan dan penantian. Setelah semua usaha dilakukan, ada saatnya untuk membiarkan segalanya berjalan sesuai kehendak-Nya. Kemudian, barulah kopi diaduk perlahan memutar melawan arah jarum jam, seperti putaran tawaf, sambil membaca shalawat. Pengadukan ini bukan hanya sekadar meratakan rasa, melainkan sebuah ritual pengukuhan niat dan pengharapan. Semakin lama diaduk, semakin kuat rasanya, melambangkan betapa kuatnya tekad dan komitmen kita dalam memperjuangkan sesuatu.

Analogi ini kian relevan dengan kondisi aroma cara kita beragama. Tampaknya, Allah Ta’ala memang sedang membenamkan “letek kopi” setelah proses pengadukan yang panjang. Ini adalah masa pengendapan, di mana “ampas-ampas kesadaran bertauhid” yang menelusup dalam kesedapan aroma dzikir sedang dikeluarkan. Fenomena ini bisa jadi adalah ujian, pemurnian, atau proses eliminasi segala sesuatu yang tidak murni dalam ber-Tauhid. “Buanglah ampasnya, jangan buru-buru disruput,” adalah seruan untuk tidak tergesa-gesa dalam menilai atau mengambil kesimpulan. Kita diajak untuk terus “mengaduk,” yaitu terus berusaha, belajar, dan berbenah diri, sampai kita menemukan rasa sedap mengenal karunia kopi yang diijinkan oleh Allah Ta’ala.

Ketika “letek kopi” itu mengendap sempurna, dan ampas-ampasnya terbuang, barulah kita dapat menikmati citra rasa anugerah-Nya yang sejati, sebuah hadiah “hub” (cinta) bagi hamba-hamba yang dicintai-Nya, karena minum kopi sembari terus mengingat-Nya.

Saat ini, banyak yang membuktikan cintanya kepada Rabb, dengan cara selalu mensyukuri rakhmat-Nya yang Maha Luas. Insya Allah, tak lama lagi “letek kopi” itu akan mengendap, dan bismillah, selamat menyeruput aroma kopi rasa Tauhid yang murni dan sejati.***

Related posts