Oleh : Mustaqiem Eska
“Tuhanku, dalam termangu aku masih menyebut namaMu. Biar susah sungguh mengingat Kau penuh seluruh” – Chairil Anwar, Doa
(pdlFile.com) Dalam rentang eksistensi manusia, terdapat sebuah titik krusial yang kerapkali mendatangi setiap insan, sebuah momen ketika kita termangu. Bukan sekadar jeda sesaat, melainkan sebuah kondisi di mana pikiran dan hati seolah membeku di hadapan sebuah persimpangan jalan yang begitu rumit dan penuh dilema. Kebijaksanaan diri terasa tak cukup, sebab keputusan yang harus diambil bukan hanya menyangkut arah pribadi, melainkan juga visi hidup, misi eksistensial, bahkan kedamaian keluarga yang terancam oleh perbedaan prinsip yang mengakar. Seringkali, dalam keputusasaan, kita melabeli setiap kejadian sebagai takdir, seolah-olah menyerah pada kekuatan yang tak terlihat. Padahal, saat kita termangu, sejatinya Allah sedang menganugerahkan sebuah “ruang meditasi”, sebuah kesempatan emas untuk kembali kepada-Nya.
Saat persimpangan jalan, kita berdiri di tengah-tengahnya, bingung, lupa akan tujuan awal. Keraguan merajalela, mengikis kemampuan kita untuk memilih: haruskah belok kanan, belok kiri, atau lurus ke depan? Momen “mangu” inilah yang menjadi krusial. Ia adalah undangan untuk diam sejenak dan bermuhasabah sebening-beningnya. Ini bukan tentang pasrah, melainkan tentang introspeksi mendalam, menimbang setiap opsi dengan cermat, dan yang terpenting, mencari petunjuk dari Sang Pencipta.
Kondisi “mangu” ini telah lama menjadi tema universal yang digarap oleh para penulis dari berbagai zaman dan budaya. Ia seringkali diwujudkan melalui karakter-karakter yang menghadapi krisis eksistensial, dilema moral yang mendalam, atau pertarungan batin antara keinginan pribadi dan tuntutan sosial. Momen “mangu” menjadi titik balik naratif, tempat karakter-karakter tersebut mengalami transformasi, baik menuju pencerahan maupun kehancuran. Sastra menggambarkan “mangu” sebagai sebuah ruang batin yang sunyi, namun penuh gejolak, di mana pilihan-pilihan hidup dipertaruhkan.
QS. Az-Zariyat ayat 50, “Maka segeralah kembali kepada Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang jelas bagimu dari Allah,” menegaskan esensi dari jeda ini. Ia adalah panggilan untuk tidak berlarut dalam kebingungan, melainkan segera mencari bimbingan ilahi. “Mangu” bukanlah akhir, melainkan sebuah permulaan baru, sebuah kesempatan untuk menyelaraskan kembali kompas spiritual kita dengan tujuan sejati. Ia adalah pengingat bahwa dalam setiap kerumitan hidup, ada kekuatan yang jauh lebih besar yang siap membimbing kita, asalkan kita bersedia untuk kembali kepada-Nya.
Maka, ketika “mangu” menyapa, janganlah menganggapnya sebagai tanda kelemahan atau akhir dari segalanya. Sebaliknya, lihatlah ia sebagai sebuah anugerah, sebuah jeda yang diberikan oleh Allah untuk menata kembali arah hidup, memperjelas visi dan misi, serta menemukan kembali kedamaian yang mungkin sempat terusik. Dalam setiap kebuntuan, sejatinya ada jalan keluar yang menanti, asalkan kita memilih untuk bermuhasabah dan berserah diri kepada kebijaksanaan Ilahi.***