Benih Tauhid

 

Oleh : Mustaqiem Eska

 

 

(pdlFile.com)   Sejak ruh ditiupkan ke dalam jasad, sebuah amanah agung diemban oleh setiap orang tua Muslim: menanamkan nilai tauhid, mengenalkan Allah sebagai Rabb Al-Ahad. Inilah pondasi kehidupan, inti dari eksistensi seorang Muslim. Tugas ini bukan sekadar kewajiban, melainkan sebuah perjalanan cinta dan pengorbanan yang tak pernah usai hingga anak mengenal Allah dan Rasul-Nya, Muhammad SAW, sebagai prioritas utama dalam hati mereka.

Pendidikan tauhid bukanlah pilihan, melainkan keharusan. Orang tua adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Sejak dini, setiap interaksi, setiap cerita, setiap doa, harus berpusat pada pengenalan akan keesaan Allah, keagungan-Nya, dan cinta-Nya yang tak terbatas. Ini adalah proses berkelanjutan yang membutuhkan kesabaran, kreativitas, dan keteladanan. Jika anak-anak Muslim tumbuh tanpa menempatkan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya di peringkat pertama, maka ada sebuah kegagalan dalam amanah pendidikan tauhid ini. Kecintaan pada dunia, harta, atau bahkan orang tua itu sendiri tidak boleh mengalahkan cinta kepada Sang Pencipta.

Tidak setiap orang tua memiliki keluasan ilmu agama untuk membimbing anak-anaknya secara optimal. Keterbatasan pengetahuan ini bukanlah akhir dari segalanya, melainkan pemicu untuk mencari jalan terbaik. Menitipkan usia keemasan anak-anak ke pesantren adalah salah satu ikhtiar yang sah, bahkan mulia. Ini adalah keputusan yang seringkali diwarnai drama perpisahan, cucuran air mata, dan kerinduan mendalam. Namun, air mata ini bukanlah tanda kejam atau tidak sayang, melainkan bukti nyata dari pengorbanan orang tua yang tak sebanding demi masa depan akhirat anaknya. Ini adalah bentuk kasih sayang tertinggi, demi Allah.

Akan ada saat-saat anak menangis karena rindu, karena jarak. Jangan pernah melihat air mata itu sebagai beban. Itu adalah bagian dari proses. Itu adalah perjuangan. Bandingkanlah dengan keikhlasan Nabi Ibrahim AS yang diperintah untuk menyembelih putra kesayangannya, Ismail AS. Sebuah perintah yang mustahil terlaksana tanpa kecintaan yang tak terbatas kepada Allah SWT. Pengorbanan Nabi Ibrahim adalah cerminan tertinggi dari tauhid, sebuah pelajaran abadi tentang bagaimana cinta kepada Allah harus melampaui segalanya, bahkan ikatan darah terkuat sekalipun.

 

Cinta kepada Allah sebagai Peringkat Pertama

Jika cinta seorang anak dalam keluarga Muslim tidak menempatkan Allah dan Rasul-Nya sebagai peringkat pertama, sehebat apapun prestasi duniawi yang mereka raih, itu adalah indikasi kegagalan dalam pendidikan tauhid. Pendidikan bukanlah sekadar mencetak individu yang cerdas secara akademis, melainkan membentuk pribadi yang beriman, bertauhid, dan menempatkan akhirat di atas dunia.

Oleh karena itu, setiap air mata yang mengalir karena kerinduan anak di pesantren adalah tetesan pengorbanan yang mulia. Setiap rintihan rindu adalah bukti perjuangan orang tua yang ingin anaknya mengenal dan mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan sepenuh hati. Ini bukan tentang “raja tega”, bukan tentang pendidikan yang salah, ini bukan tentang tumpah ruahnya airmata keterpisahan, ini bukan drama kekejaman orang tua, ini bukan tentang sekedar model pendidikan. Ini adalah wujud cinta sejati, yang berlandaskan iman, yang mengutamakan bekal akhirat, dan yang mengikuti jejak para nabi dalam menanamkan tauhid sejak dini. Jika orang tua tak sanggup mengenalkan anak sebagai prioritas dalam mengenal dan mencintai Allah dan RasulNya, maka -percayalah- insyaallah, pesantren adalah di antara jalan Pendidikan berikutnya. Karena tugas orangtua, bukan tentang anak akan menjadi apa atau menjadi apa. Cukup anak mengenal Allah dan RasulNya, maka anak akan menjadi apapun adalah wujud daripada yang bernama keshalehan.

 

Related posts