Toleransi Kelezatan

 

Oleh : Mustaqiem Eska

 

 

(pdlFile.com)   Hidup adalah sebuah perjalanan keinginan, sebuah eskalasi tak berujung yang seringkali disamakan dengan seseorang yang belajar mengendarai. Mula-mula, kita ingin bisa menaiki sepeda. Setelah mahir, hasrat beralih pada motor. Begitu motor dikuasai, mobil menjadi tujuan berikutnya, dan seterusnya. Ini adalah siklus alami keinginan, sebuah pergerakan yang tak pernah berhenti dalam mencari rasa, mencari kelezatan.

Dalam konteks duniawi, kelezatan adalah sinonim dari keinginan akan rasa. Ia hadir dalam setiap aspek kehidupan kita. Dalam ranah cinta sekalipun, kelezatan memiliki batasnya sendiri. Ketika cinta telah mencapai puncaknya, menemukan titik kerinduan yang paling dalam, di sanalah ia menemukan batasnya. Kerinduan adalah muara dari segala gejolak cinta, sebuah kelezatan yang paripurna dalam dimensi manusia.

Namun, semua kelezatan di dunia ini adalah fana, berbatas dengan usia. Setiap rasa, setiap pengalaman, setiap pencapaian, pada akhirnya akan usai bersama hembusan napas terakhir. Kesadaran ini membawa kita pada sebuah pemahaman yang lebih mendalam: kelezatan yang sempurna bukanlah milik dunia ini. Kelezatan sejati, yang tak lekang oleh waktu dan tak terbatas oleh usia, adalah ketika kelak kita diizinkan untuk menatap wajah-Nya.

Untuk mencapai kelezatan hakiki ini, kita memerlukan apa yang bisa disebut sebagai toleransi kelezatan ketika masih di dunia. Toleransi ini bukan berarti menolak kelezatan duniawi, melainkan sebuah sikap untuk merasakan nikmat dalam beribadah kepada-Nya. Ibadah bukan hanya sekadar kewajiban ritual, melainkan sebuah jembatan, sebuah cara untuk merasakan kelezatan sejati, sebuah antisipasi dari kelezatan yang lebih besar di akhirat kelak.

Dunia ini hanyalah sebuah perjalanan musafir, sebuah persinggahan singkat bagi kita untuk menemukan dan lebih dekat mengenal-Nya. Ayat-ayat kauniyah-Nya yang terhampar luas dan indah di alam semesta adalah petunjuk, isyarat akan kebesaran dan keindahan-Nya. Melalui setiap ciptaan-Nya, kita diajak untuk merenung, untuk merasakan sebagian kecil dari kelezatan yang adalah milik-Nya sepenuhnya.

Kita perlu memahami bahwa kelezatan duniawi adalah tangga menuju kelezatan ilahi. Dengan memahami batas-batas ini, dengan merasakan nikmat dalam ketaatan dan ibadah, kita akan mampu meresap kelezatan dalam mencintai-Nya dengan sepenuh hati. Karena pada akhirnya, puncak dari segala kelezatan adalah cinta kepada Sang Pencipta, sebuah cinta yang tak terbatas oleh apapun, kecuali oleh kehendak-Nya sendiri.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda:

“Apabila penduduk surga telah masuk surga, dan penduduk neraka telah masuk neraka, Allah bertanya: ‘Apakah kalian telah merasa puas?’ Mereka menjawab: ‘Ya, kami telah merasa puas.’ Kemudian Allah berfirman: ‘Aku akan memberikan kepada kalian yang lebih baik dari itu.’ Mereka bertanya: ‘Apakah itu?’ Allah berfirman: ‘Aku akan memperlihatkan kepada kalian wajah-Ku. Itulah yang lebih baik dari segalanya.'” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya)

Ini menegaskan bahwa puncak kelezatan bagi seorang hamba adalah visi ilahi, sebuah anugerah yang jauh melampaui segala sesuatu yang bisa ditawarkan atau dibeli oleh dunia ini. Keinginan untuk menatap wajah-Nya adalah manifestasi tertinggi dari cinta dan kerinduan seorang hamba kepada Penciptanya. Ini adalah kebahagiaan dan kepuasan yang tidak bisa ditukar dengan kenikmatan duniawi manapun, karena ia adalah inti dari segala kenikmatan. ***

 

Related posts